Kasus Whoosh Luhut: Antitesis Penegakan Hukum dalam Proyek Strategis Nasional
Kasus Whoosh
Penulis: Damai Hari Lubis, Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
Satuju.com - Kasus Whoosh Luhut yang antitesis adalah artikel penulis selaku Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik) merujuk pada proyek kereta cepat Jakarta-Bandung (Whoosh) yang kontroversial dan aromanya kuat ada dugaan korupsi.
Isu korupsi proyek Whoosh sejak 2 tahun lalu (2023) sudah menjadi gunjingan publik, kembali mencuat setelah Menkeu sempat nyatakan menolak pembayaran utang terkait projek (BUMN). Lalu tambah mencuat pasca mantan Menko Polhukam Mahfud MD (MMD) mengungkapkan indikasi penggelembungan anggaran (mark up) dalam pembangunan kereta cepat itu, melalui kanal YouTube MMD Official pada 14 Oktober 2025, Ia menyebut perbedaan signifikan antara biaya konstruksi di Indonesia dan di Tiongkok.
“Menurut perhitungan pihak Indonesia, biaya per satu kilometer kereta Whoosh itu 52 juta dolar AS Akan tetapi, di China sendiri, hitungannya 17–18 juta dolar AS. Naik tiga kali lipat, maka “Ini siapa yang menaikkan? Uangnya ke mana? Naik tiga kali lipat. 17 juta dolar AS ya, dolar Amerika nih, bukan rupiah, per kilometernya menjadi 52 juta dolar AS di Indonesia. Nah itu mark up. Harus diteliti siapa yang dulu melakukan ini."
Menanggapi hal itu, KPK mengimbau MMD untuk menyampaikan laporan resmi mengenai temuannya, agar dapat ditindaklanjuti sesuai prosedur hukum.
Hal ini KPK keliru, karena KPK tidak butuh pelaporan ketika sudah mendengar, membaca dan mengetahui sendiri dari berbagai media sosial ada penyelewangan perekonomian negara, TUPOKSI KPK tidak menunggu, tapi pro aktif bahkan penyidik KPK bisa memaksa MMD agar hadir untuk diperiksa, karena objek kerja KPK adalah tindak pidana khusus dengan unsur delik biasa (umum).
Pengamat punya beberapa catatan, terkait whoosh:
- Bahwa KPK sejak awal 2025 sudah mulai menyelidiki dugaan korupsi pada proyek Whoosh yang nilainya mencapai miliaran dolar AS;
- Ada pernyataan MMD yang mengungkap adanya indikasi penggelembungan anggaran (mark up) dalam pembangunan kereta cepat tersebut;
- Estimasi publik, inidikasikan bahwa biaya konstruksi per kilometer kereta Whoosh di Indonesia mencapai 52 juta dolar AS, sedangkan di Tiongkok hanya sekitar 17-18 juta dolar AS;
- KPK menyatakan belum memastikan apakah Ketua Komite Kereta Cepat Luhut Binsar Pandjaitan akan dipanggil untuk dimintai keterangan, tentu pernyataan KPK ini keliru, justru wajib dari sisi jabatan Luhut;
- KPK masih melakukan penyelidikan dan belum dapat mempublikasikan detail kasus secara rinci.
Namun pengamat juga punya catatan khusus tentang MMD selaku eks pejabat publik. bukan otak pelaku uit lokker, jika kelak pendapat MMD yang dibuat acuan. Karena belum apa apa MMD sudah menyatakan "ragu" jika Luhut terlibat namun bukan berdasarkan rule of law karena bertentangan dengan due procces of law (sistim hukum) dan asas equalitas, MMD hanya berdasarkan intuisi (subjektif) belaka, diantaranya menyatakan, "Karena Luhut adalah berjiwa militer yang bakal patuh kepada Jokowi selaku pimpinan". Ini kan penilaian ambigu dan kontaradiktif bahkan kontraproduktif dari sisi penglihatan dan sepengetahuan publik atas 'sepak terjang' Jokowi dan Luhut ?
Maka jika KPK kelak lebih mendengar keterangan intuitif MMD, Jokowi dan Luhut bisa jadi, perbuatan Luhut dan Jokowi, bakal mengarah ke opini legal ; "Terkait program Kereta Api Cepat Jo. Woosh adalah PSN sebagai diskresi politik negara yang sah dibuat berdasarkan diskresi presiden dengan persetujuan legislatif atau oleh sebab pembiaran (disobedient) oleh legislatif ? Sehingga merupakan keputusan tata negara yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum kepada eksekutif (Jokowi Presiden) selaku penyelenggara negara, dan andai pun fakta mengalami kegagalan atau lalai dalam perhitungan cost program kereta api cepat atau dampak durasi pengerjaan adalah menjadi beban pejabat admisntrasi keuangan projek dan atau petugas atau tehnisi lapangan atau urusan PT. KCIC yang merupakan join usaha konsorsium BUMN dan Pengusaha Tiongkok".
Maka pengamat merasa pesimistis, yang terjerat KPK justru kelak sekedar kelas teri.
Sehingga cenderung proses perkara a quo in casu kontra rule of law, bahwa segala perbuatan pidana dan atau yang merugikan negara harus dipertanggungjawabkan oleh pelakunya (ekualitas) sesuai UUD 1945 Jo. UU. Tipikor Jo asas asas hukum pidana.
Saran, KPK butuh kerja sama menyelamatkan uang negara, yang nota bene uang rakyat dengan pola melibatkan para aktivis dari masyarakat hukum dan masyarakat ahli ekonomi (pakar ekonom) yang konsisten dan konsekuen dan itikad baik dan kuncinya diterima atau dotolaknya ada ditangan Presiden RI.
Referensi berita Satuju.com
https://www.satuju.com/berita/12725/damai-hari-lubis-pertanyakan-sikap-mahfud-md-yang-dinilai-membela-luhut-dalam-kasus-proyek-kereta-cepat-whoosh.html

