Sengketa Ijazah Jokowi di KIP: Penolakan yang Dinilai Politik
Sengketa Ijazah Jokowi . (poto/net)
Satuju.com - TPUA tidak keget Komisi Informasi Pusat (KIP) menolak permohonan penyelesaian sengketa informasi (Rabu, 3/12/2025) yang diajukan Pengamat Kebijakan Publik, Bonatua Silalahi yang pihak termohonnya adalah Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), terkait Ijazah Jokowi Presiden RI ke 7.
Tidak kaget, dikarenakan Penulis yang cukup menguasai "Ilmu" Peran Serta Masyarakat dan Kebebasan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum", tentunya mengetahui sistimaika hukum yang ada didalam UU. Perlindungan Data Pribadi dan UU. Keterbukaan Informasi Publik, dan tahu jurisdiksi informasi terhadap pejabat publik adalah ranah KIP (Komisi Informasi Publik), akan tetapi back ground believe kami men-judge mereka Komisoner KIP dan KPU senada dan seirama garis politik hukumnya, karena keanggotaan mereka berasal dari arranger kekuasaan dan kekuatan partai politik dibawah Presiden Jokowi yang amat kuat dan mengingat segala dokumentasi persyaratan mengikuti selaku kontestan pemilu pilpres dan atau pilkada mengandung beban berat pertanggugjawaban hukum kepada KPU secara pidana dan adimistrasi negara, maka KIP kami tengarai tidak bakal mengabulkan permohonan sengketa penyelesaian informasi publik.
Maka pilihan penulis selaku Koordinator advokat TPUA juga konseptor pada tahun 2024 berjuang melalui gugat di PN. Jakarta Pusat perihal onrechtmaige overheidsdaad atau PMH yang dilakukan oleh Jokowi selaku Penguasa (Ijazah S-1 Palsu), dengan harapan pada saat proses pembuktian litigasi bisa melihat dan memeriksa "benda langka ijazah asli S-1 Jokowi", yang bahkan pihak KPU pun sampai saat ini belum tentu pernah melihat asli "Ijazah Jokowi"
Dan pengurus advokat TPUA saat itu (Eggi Sudjana selaku Ketua Umum TPUA dan Penulis selaku Koordinator Advokat dan Wakil Sekretaris Arvid Saktyo) tentu saja sejak awal pra dijukannya gugatan tidak mimpi bakal menang, walau memiliki bukti kuat vonis inktacht PN Surakarta terhadap terpidana Bambang Tri Mulyono, sang penulis buku Jokowi under cover. Namun TPUA hanya berharap kedua pihak (TPUA selaku Penggugat dan Tergugat I Jokowi, tergugat KPU RI dan 8 tergugat lainnya) saling memeriksa barang bukti "Ijazah aneh namun nyata" milik Tergugat I dimaksud pada saat tahapan pemeriksaan barang bukti di persidangan.
Setidak tidaknya gugatan 'melahirkan' opini publik yang cukup menyita perhatian publik, karena durasi gugatan membutuhkan waktu yang lama, pridiktif 6 sampai 10, bahkan 11 bulan, sejak proses gugatan dibacakan hingga vonis, namun nyatanya gugatan TPUA diputus NO tidak sampai proses pembuktian oleh Majelis Hakim PN. Pusat dengan segala pola persidangan yàng aneh.
Selanjutnya sejarah hukum pasca gugatan yang NO tersebut, kami TPUA membuat laporan dugaan ijazah S-1 Palsu Jokowi ke Dumas Mabes Polri pada 9 Desember 2024 dan penulis juga masih selaku koordinator advokat TPUA serta konseptor naskah tunggal pelaporan, dan akhirnya publik mengetahui bahwa pelaporan TPUA dinyatakan dihentikan karena "katanya" ijazah Jokowi identik dengan yang asli, kemudian publik menyaksikan lahirmya peristiwa hukum laporan Jokowi di Polda Metro Jaya (30 Arpil 2025), lalu 'ekspress' terbit penetapan 8 orang tersangka (TSK) yakni Prof. Eggi Sudjana dan kawan kawan, dimana pra penetapan TSK ada peristiwa sejarah hukum, bahwa satu bus anggota dan simpatisan TPUA berkunjung dengan pola on the spot ke UGM (Selasa, 15 April 2025) dan bertamu ke jalan Kutai Solo, rumah kediaman Jokowi dalam rangka investigasi merujuk ketentuan "Peran Serta Masyarakat" dan delegasi TPUA (Penulis ditemani Kurnia Tri R dan Rizal Fadillah) dijamu oleh Jokowi (Rabu,16 April 2025).
Sehingga, untuk itu kami TPUA tidak terkejut terhadap putusan KIP walau saat pemeriksaan barang bukti, ada kesan majelis memojokan pihak termohon KPU, namun faktanya memang lidah tak bertulang, Majelis menolak permohonan peŕmintaan barang 'langka' Ijazah S-1 Jokowi, bahkan majelis KIP sendiri tidak dapat melihat sekedar dokumen KPU catatan persyaratan Jokowi yang 'katanya' sudah dimusnahkan.
Sehingga statemen hukum pemohon Bonatua Silalahi, bahwa Ia "menang", disepakati oleh penulis karena "dalil posita" dari pihak permohon diketahui oleh publik bangsa jnj dan dunia internasional secara transparan, selain petitum pemohon sengketa sejatinya representatif 'tuntutan publik', termasuk dalil posita memuat data empirik yang berasal dari temuan publik dan sudah menjadi rahasia umum tentang "dugaan ijazah palsu"

