Rieke Diah Pitaloka Desak Penanganan Banjir dan Longsor Tanpa "Show" Pejabat

Rieke Diah Pitaloka

Jakarta, Satuju.com - Bencana banjir dan longsor yang melanda Provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat menelan korban jiwa yang signifikan dan menyebabkan kerusakan luas. Melansir akun Instagram Rieke Diah Pitaloka (@riekediahp), data Dashboard Darurat Banjir & Longsor per Kamis (4/12/2025) mencatat, dari 50 kabupaten/kota terdampak, terdapat 776 orang meninggal (Sumut: 299, Aceh: 277, Sumbar: 200), 564 hilang, dan 2.600 luka. Dampak bencana dirasakan oleh sekitar 3,3 juta jiwa.

Kerusakan meliputi permukiman, jalan dan jembatan, serta layanan publik, termasuk fasilitas kesehatan, kantor pemerintahan, sekolah, dan rumah ibadah. Banyak pihak mendorong pemerintah menetapkan status bencana nasional. Namun, Rieke menekankan bahwa, terlepas dari istilah yang digunakan, penanganan harus dilakukan secara nasional dengan melibatkan seluruh unsur pemerintah pusat dan daerah.

“Saya mendukung langkah lintas Kementerian/Lembaga. Namun hentikan komentar dan kunjungan pejabat yang hanya ‘show’. Justru membuat ribet warga,” tulisnya.

Rieke meyakini Presiden Prabowo memantau situasi secara langsung melalui laporan harian. Koordinasi lintas sektor, terutama PLN dan Telkom, menargetkan pemulihan akses vital dimulai Jumat (5/12). Menurutnya, bencana ini menjadi ujian bagi persaudaraan dan gotong royong di masyarakat.

Soal anggaran, Rieke menegaskan bahwa tidak ada kendala pendanaan. Badan Anggaran DPR RI mencatat tersedianya Dana Siap Pakai (DSP) on-call senilai Rp 4 triliun. “Bukan soal ketiadaan anggaran atau mengemis bantuan luar negeri. Yang penting rakyat dan aparat penegak hukum ikut mengawasi agar tidak ada wakil rakyat bermain di dana bencana,” ujarnya.

Rieke mendukung instruksi Presiden agar seluruh birokrat Kementerian/Lembaga dan pemerintah daerah:

1. Tidak menyalahgunakan dana bencana. DSP harus digunakan murni untuk penanggulangan bencana.

2. Rehabilitasi dan rekonstruksi dilakukan terarah, tepat sasaran, simultan, dan berkelanjutan.

Selain itu, Rieke menekankan beberapa langkah paralel yang harus dijalankan:

1. Mengembalikan fungsi Kementerian Kehutanan sebagai penjaga hutan, bukan sebagai penjual izin.

2. Mengerahkan potensi lintas K/L dan TNI untuk relokasi permukiman, pemenuhan kebutuhan dasar, dan perbaikan layanan publik.

3. Mengevaluasi seluruh izin pertambangan dan pemanfaatan hutan; mencabut izin bermasalah, menghentikan izin baru dan tambang ilegal, serta menindak pelaku “serakahnomics.”

Bencana ini menjadi momentum penguatan koordinasi lintas sektor, pengawasan publik, dan kepatuhan birokrasi terhadap fungsi nyata pemerintah demi keselamatan dan kesejahteraan masyarakat terdampak.