Greenpeace: Banjir Bandang Sumatra Bukan Takdir, Tapi Kegagalan Kebijakan Negara
Banjir Bandang Sumatra
Jakarta, Satuju.com - Greenpeace Indonesia mengkritik keras gelombang banjir bandang dan tanah longsor yang melanda berbagai wilayah di Sumatra, mulai dari Tapanuli Tengah, Sibolga, Mandailing Natal, Lhokseumawe, Aceh dan Nias Selatan.
Air bah yang menerjang tidak hanya membawa lumpur, batang kayu, dan rumah-rumah yang hancur, tapi juga membawa satu pesan lain bahwa peringatan itu sudah ada sejak lama, namun tidak pernah benar-benar didengar, bahkan oleh pemerintah sekalipun.
Koordinator Kampanye Greenpeace, Iqbal Damanik, menegaskan bahwa tragedi yang sudah menewaskan setidaknya 700 orang lebih itu, sampai Rabu (3/12/2025) bukan sekadar bencana alam.
Melainkan buah dari kegagalan kebijakan negara dalam melindungi lingkungan dan ekosistem penting.
Iqbal menyatakan krisis ini sudah diprediksi sejak satu dekade lalu, tetapi pemerintah memilih menutup mata.
“Bagian paling menyedihkan bagi aktivis lingkungan adalah ketika prediksi yang sudah kita ingatkan selama bertahun-tahun akhirnya menjadi kenyataan tragis,” kata Iqbal dalam perbincangan yang ditayangkan di Channel YouTube Abraham Samad SPEAK UP
Menurut Iqbal, wilayah-wilayah terdampak seperti Batang Toru dan Tapanuli merupakan kawasan esensial yang sejak lama diperingatkan akan rentan terhadap bencana hidrometeorologi.
Namun alih-alih memperkuat perlindungan ekologis, pemerintah justru terus menerbitkan izin-izin tambang, proyek PLTA, dan pembukaan lahan lain tanpa menimbang daya dukung lingkungan.
Bahkan izin-izin itu kata Iqbal disinyalir diberikan dalam proses koruptif.
“Kalau kayak begini, kita selalu dibilang jangan mencari siapa yang salah. Tidak, kita harus mencari yang salah. Ini bukan takdir semata. Ini kegagalan kebijakan,” tegasnya.
Menurut Iqbal karena kebijakan yang gagal menjadi penyebab utama bencana di Sumatra, maka harus ada menteri yang mundur dan minta maaf.
"Harus dicari siapa penyebabnya.Ini sebenarnya menteri harus ada yang mundur. Harus ada menteri yang mundur, harus ada menteri yang minta maaf, sebagai bentuk pertanggungjawaban," kata Iqbal.
Iqbal mempertanyakan kenapa menteri-menteri ini dan jajaran turunannya tidak melakukan pengawasan yang ketat di wilayah izin yang sudah mereka berikan, misalnya pertambangan.
Iqbal menyebut dua akar masalah utama yakni pertama cuaca ekstrem akibat krisis iklim, yang seharusnya bisa diantisipasi dengan kebijakan adaptasi dan mitigasi serta sains dan teknologi.
Serta kedua, kondisi ekologis yang sudah rusak parah, terutama hilangnya tutupan hutan di wilayah DAS (Daerah Aliran Sungai) yang menyebabkan air tak lagi mampu ditahan.
“Ibaratnya sudah jatuh tertimpa tangga. Cuaca ekstrem terjadi karena iklim berubah, tapi kerusakan ekologis membuat dampaknya berkali lipat lebih parah,” ujarnya.

