Ijazah Palsu, Peran Serta Masyarakat dan Bayang-Bayang Pelanggaran KUHAP
Ilustrasi. (poto/net).
Penulis: Gate 25 Madina
Satuju.com - Dari beberapa nara sumber menghadirkan opini hukum melalui artikel atau tontonan video podcast yang tayang di berbagai media sosial, termasuk materi narasi hukum dari Gate 25 Madina, maupun akademisi hukum lainnya, banyak narasi yang gamblang berpendapat telah terjadi pola pelanggaran KUHAP dalam proses perkara 8 TSK terkait dugaan publik Jokowi Ijazah Palsu
Kemudian terkait dugaan negatif publik ini, diikuti dengan berbagai opini hukum dalam bentuk narasi hukum melalui (artikel + video), yang lalu narasi narasi hukum tersebut oleh para netizen direpost, lalu berubah sebagai senjata ampuh bagi publik agar sang apara enggan berlaku transparansi berbuat hal hal yang 'biasa dilakukan, sampai akhirnya bertemu "celah alasan" yang mereka ruler butuhkan untuk mulai melakukan penahanan terhadap Para TSK walau belum berkepastian hukum sesuai perintah asas praduga gak bersalah. Sehingga tidak semestinya harus menggunakan hak subjektifitas yang dimiliki para ruler (Aparat yang berkuasa).
Karena terkait dugaan ijazah palsu, merupakan wujud tuduhan dugaan publik kepada pejabat publik, dan dilakukan melalui implementasi representatif "Peran Serta Masyarakat". Dan wujudnya nyata atas perintah sistim hukum positif yang berlandaskan hak "peran masyarakat," yang berdampak mencakup berbagai aspek kehidupan berbangsa (nasional), sehingga terjangkau luas dan mewakili tujuan awalnya yakni bongkar kejahatan dusta hukum yang dilakukan oleh mantan penguasa tertinggi, namun realitas kontemporer sebagai bagian dari pejabat publik penyelenggara negara (DANANTARA).
Lalu, apakah "celah" untuk melakukan penahanan itu kini sudah ada ?
Jawabnya sudah ada walau tetap belum semestinya.
Celah tersebut didapat berdasarkan pengajuan Gelar Perkara Khusus (GPK) atas permintaan Kuasa Hukum TSK maka status yang bukan menghapus status TSK. Justru sebaliknya naik status sebagai TDW ?
Padahal beberapa aktivis meyakini, justru keengganan mengulang bad record dalam praktik law enforcement dengan poa menahan para TSK yang empiris kasat mata, boleh jadi disebabkan adanya perlawanan radikal para tokoh aktivis dengan dukungan banyak para tokoh, plus 2 orang pakar IT (tekhnologi informasi) dan digital, sehingga "ruler" tidak brutal untuk melakukan aksi penahanan, faktual empiris 3 orang aktivis pulang ke rumah.
Namun dengan adanya permintaan GPK dari unsur tim kuasa hukum, para aktivis potensi blunder dari sisi sejarah sosiologi penegakan hukum (history of the sociology of law enforcement), ditambah lagi salah satu prinsipalnya pernah mencibir aktivitas para aktivis (TPUA) yang memang spesial "berburu temuan dugaan ijazah palsu" yang diproteksi payung hukum "peran serta masyarakat". Tapi tak disangka tak diduga Si pencibir tanpa diundang, oleh koordinator kelompok aktivis dan tanpa ba bi bu muncul di UGM Jogja, lalu eks pendukung Jokowi 2014 ini bertingkah mirip artis segala bisa, dan mengecoh seorang aktivis dengan menganggap diri si pencibir sebagai pakar "medis digital" ? Kemudian Ia berlaku primordialisme. Entah apa kaitan benang putih antara ilmu medis dengan ijazah palsu.
Lalu waktu berjalan bertambah batu sandungan perjuangan (konstruksi obstruktif), kembali pencibir ahli medis digital dan bocah intel bergabung ikut menyelundup ke kelompok aktivis, lacur justru ditampung ditengah perjuangan oleh para aktivis yang terserang virus tenar kemudian mereka pun keduanya di penghujung perjuangan bertengkar.
Kenapa para aktivis pandai dan nalar sehat tidak sanggup melihat gejala gejala kesurupan bocah intel hitam? Atau semuanya sama-sama mengalami demam panggung malam minggu?
By the way, akan kah implikasi bocah intel hitam minta GPK, indikasi metode "dengan sengaja melakukan blunder", dengan pola berkoordinasi dengan buruknya perilaku law enforcement, dengan tujuan agar para aktivis yang Ia advokasi berhasil digulung lalu digiring melalui gelar perkara khusus dengan pola sang tertuduh publik memperlihatkan ijazah yang belum berkepastian hukum.
Yang sebenarnya, bahwa bila pun benar pendapat hukum telah terjadi pelanggaran tehnis sistematika hukum acara dilakukan atau benar yakini dugaan inti publik ijazah palsu, tentu perlu dibiarkan sebagai bahan prapid atau eksepsi kelak atau menelanjangi Sosok Pelapor tertuduh saat agenda pembuktian kelak di ruang pengadilan, sesuai kebutuhan prioritas para saksi pakar (ahli), logikanya jika tidak ditahan para pejuang mendapat peluang bebas berjuang dari luar jeruji (more strong).
Sudahlah, mudah mudahan pelaksanaan GPK 15-12-2025 memperoleh hapusnya status TSK, bukan slow but sure borgol melingkari di tangan sejak pra sidang membuka tabir materiele waarheid, maka sila teruskan minta bantuan dari "bocah sinting intel gelap dengan jenis kelamin banci tampil" agar mencapai tujuan perjuangan, setidak-tidaknya midah-mudahan tidak semua TSK menempel bak kembar siam di dalam jeruji.
Tulisan ini membahas tentang dugaan pelanggaran KUHAP dalam proses perkara 8 TSK terkait dugaan publik Jokowi Ijazah Palsu. Penulis menyoroti bahwa ada opini hukum yang menyatakan bahwa penahanan TSK tidak semestinya dilakukan karena belum ada kepastian hukum. Penulis juga menyoroti bahwa permintaan GPK dari unsur tim kuasa hukum TSK dapat berimplikasi pada status TSK yang dapat berubah menjadi TDW.
Penulis juga menyoroti adanya dugaan adanya bocah intel gelap yang berusaha menggulung para aktivis yang memperjuangkan kasus ini. Penulis mempertanyakan apakah bocah intel gelap ini sengaja melakukan blunder untuk menggulung para aktivis dan apakah para aktivis dapat melihat gejala-gejala kesurupan bocah intel hitam.
Tulisan ini juga menyoroti bahwa jika TSK tidak ditahan, maka para pejuang dapat bebas berjuang dari luar jeruji dan lebih kuat dalam memperjuangkan kasus ini.

