Nikel Diduga Dijual Tanpa Produksi, Konsorsium Aktivis Datangi Kejagung
Konsorsium Aktivis Datangi Kejagung
Jakarta, Satuju.com — Konsorsium Aktivis Kajian Hukum Indonesia menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung Kejaksaan Agung Republik Indonesia sebagai bentuk tekanan moral dan kontrol publik terhadap dugaan penjualan bijih nikel ilegal yang diduga melibatkan PT Dharma Bumi Kolaka (DBK) serta mantan Kepala Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan (KUPP) Kelas III Pomalaa tahun 2022.
Aksi ini dilandasi oleh hasil investigasi mendalam, penelusuran lapangan, serta pengumpulan dokumen dan bukti yang menunjukkan adanya indikasi kuat penyimpangan serius dalam tata kelola pertambangan dan kepelabuhanan. PT Dharma Bumi Kolaka diketahui memiliki persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) Tahun 2022 dengan kuota produksi dan penjualan bijih nikel sebesar 650.000 ton. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa di lokasi IUP perusahaan diduga tidak ditemukan aktivitas produksi yang sebanding dengan kuota tersebut.
Kondisi ini menimbulkan dugaan kuat bahwa bijih nikel yang dijual dan dikapalkan bukan berasal dari Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) PT Dharma Bumi Kolaka. Dugaan tersebut diperkuat dengan temuan terkait penggunaan jalur hauling yang tidak aktif serta pemuatan dan pengapalan bijih nikel melalui terminal khusus yang secara regulasi diduga tidak diperuntukkan bagi perusahaan tersebut.
Selain persoalan sumber bijih nikel, massa aksi juga menyoroti proses penerbitan Surat Izin Berlayar (SIB) oleh KUPP Kelas III Kolaka pada tahun 2022. Penerbitan SIB tersebut diduga tidak didasarkan pada keabsahan asal barang sebagaimana diatur dalam prosedur dan ketentuan yang berlaku, sehingga memunculkan dugaan adanya penyimpangan administratif yang serius dan berpotensi mengarah pada praktik koruptif.
Penanggung jawab aksi, Nabil Dean, menegaskan bahwa dugaan penjualan nikel ilegal ini bukan persoalan sepele dan tidak boleh dibiarkan berlarut-larut.
“Ini bukan hanya soal pelanggaran izin atau administrasi. Jika benar bijih nikel yang dijual tidak berasal dari WIUP PT Dharma Bumi Kolaka, maka ini adalah dugaan kejahatan serius yang berpotensi merugikan keuangan negara dalam jumlah besar,” tegas Nabil Dean dalam orasinya.
Menurutnya, praktik semacam ini mencerminkan buruknya pengawasan di sektor pertambangan dan kepelabuhanan, serta membuka ruang bagi permainan oknum yang memanfaatkan celah regulasi.
“Kami melihat adanya pola yang patut diduga sistematis, mulai dari tidak adanya aktivitas produksi di IUP, penggunaan fasilitas yang tidak semestinya, hingga proses pengapalan yang tetap berjalan. Ini harus dibongkar secara terang-benderang,” ujarnya.
Aksi unjuk rasa sempat berlangsung memanas ketika massa menyuarakan kekecewaan terhadap lambannya penanganan berbagai kasus dugaan kejahatan di sektor pertambangan. Adu argumen sempat terjadi dengan aparat pengamanan, namun situasi dapat dikendalikan dan aksi kembali berjalan tertib.
Nabil Dean menegaskan bahwa aksi ini bukan aksi simbolik semata, melainkan bagian dari komitmen berkelanjutan untuk mengawal proses penegakan hukum.
“Kami tegaskan, aksi ini tidak akan berhenti di sini. Kami akan terus melakukan aksi, pelaporan, dan pengawalan secara terbuka sampai aparat penegak hukum benar-benar mengambil langkah hukum yang nyata dan tegas,” katanya.
Ia juga menekankan bahwa Konsorsium Aktivis Kajian Hukum Indonesia akan terus menyampaikan data dan temuan tambahan kepada aparat penegak hukum sebagai bentuk dukungan terhadap proses penegakan hukum yang transparan dan berkeadilan.
“Kami percaya Kejaksaan Agung RI memiliki kewenangan dan keberanian untuk mengusut dugaan ini sampai tuntas. Publik berhak tahu kebenaran, dan negara tidak boleh kalah oleh praktik-praktik penjualan nikel ilegal,” tutup Nabil Dean.

