Kades Hoho Alkaf Ungkap Lima Indikasi Penyimpangan Dana Desa
Ilustrasi. (poto/net).
Banjarnegara, Satuju.com — Kepala Desa (Kades) asal Banjarnegara, Jawa Tengah, Hoho Alkaf, kembali menjadi sorotan publik setelah menyampaikan pernyataan tegas terkait potensi penyimpangan Dana Desa. Kades yang dikenal nyentrik sekaligus berprestasi dalam tata kelola desa itu mengungkapkan sejumlah tanda yang patut diwaspadai masyarakat sebagai indikasi awal praktik korupsi di tingkat desa.
Menurut Hoho, masyarakat tidak boleh pasif dan harus lebih kritis dalam mengawasi penggunaan anggaran desa. Ia menilai transparansi dan partisipasi warga merupakan kunci utama untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan Dana Desa.
“Kalau masyarakat peka, penyimpangan bisa dicegah sejak awal. Jangan sampai Dana Desa yang seharusnya untuk kesejahteraan justru dinikmati segelintir orang,” ujarnya.
Hoho Alkaf membeberkan lima tanda paling umum yang sering muncul di desa-desa ketika anggaran mulai diselewengkan.
Pertama, rapat desa hanya dijalankan sebagai formalitas. Musyawarah desa dan forum pertanggungjawaban anggaran kerap berlangsung tanpa pembahasan substansial. Lebih buruk lagi, hasil rapat—terutama terkait penggunaan dana—tidak pernah disosialisasikan secara terbuka kepada masyarakat. Kondisi ini membuka ruang gelap bagi manipulasi informasi.
Kedua, penyertaan modal BUMDes yang besar namun tidak diikuti aktivitas usaha yang jelas. Pemerintah desa mengalokasikan dana dalam jumlah signifikan untuk Badan Usaha Milik Desa, tetapi secara fisik dan operasional BUMDes tidak berjalan atau bahkan mati suri.
Ketiga, proyek pembangunan tanpa papan informasi. Hoho menegaskan bahwa papan proyek adalah bentuk transparansi dasar. Jika proyek tidak dilengkapi informasi anggaran, pelaksana, dan waktu pengerjaan, ditambah hasil pekerjaan yang buruk dan tidak sesuai standar, maka hal tersebut patut dicurigai.
Keempat, peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang tidak optimal. Anggota BPD yang pasif, tidak kritis, dan tidak menjalankan fungsi pengawasan dinilai sebagai indikator adanya pembiaran atau bahkan dugaan kerja sama yang tidak sehat dalam pengelolaan Dana Desa.
Kelima, keterlambatan realisasi program kerja meski anggaran sudah dicairkan. Program pembangunan maupun pemberdayaan masyarakat sering molor tanpa alasan jelas, padahal dana dari pemerintah pusat sudah masuk ke kas desa.
Hoho Alkaf menegaskan, kelima tanda tersebut bukan tudingan tanpa dasar, melainkan pola yang kerap muncul dalam berbagai kasus penyalahgunaan Dana Desa. Ia berharap masyarakat semakin berani bertanya, meminta laporan, dan terlibat aktif dalam pengawasan.
“Dana Desa itu uang rakyat. Kalau pengelolaannya tertutup dan tidak masuk akal, masyarakat wajib curiga dan bersuara,” tegasnya.

