Kebenaran Formil vs Kebenaran Materil dalam Perkara Pidana Ijazah Palsu

Ilustrasi. (poto/net).

Penulis: Damai Hari Lubis, Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)

(Ikhtisar, ilustrasi panduan proses perkara pidana ijazah palsu)

Satuju.com - Umumnya kalangan masyarakat hukum mengetahui bahwa untuk mendapatkan bahan pertimbangan hukum para hakim untuk kepentingan putusan perkara perdata dengan perkara pidana, secara prinsip amat kontradiktif. Putusan perkara perdata cukup berdasarkan bukti kebenaran formil (formeel waarheid), sedangkan putusan pidana berdasarkan kebenaran materil (Materiele waarheid).

Dalam proses perkara perdata keberadaan alat bukti pengakuan dari saksi atau pihak prinsipal yang bersengketa, oleh hakim dapat digunakan sebagai kunci utama yang mendasari pertimbangan hukum pada surat putusan. 

Berbeda pada perkara pidana, sekalipun alat bukti (barang bukti dan keterangan saksi-saksi) serta pengakuan disampaikan korban prinsipal (pihak JPU) atau alat bukti yang disampaikan oleh Terdakwa (TDW) atau terduga pelaku, tidak serta merta menjadi bukti hakim untuk bisa menyatakan dalam vonis sesorang TDW telah terbukti  bersalah atau tidak bersalah (vrijspraak/ onslaag) melainkan hakim harus menggali tentang kebenaran materil alat bukti (barang bukti atau surat dan keterangan saksi) dan pengakuan  yang ditampilkan oleh JPU atau oleh TDW atau pihak advokat/ pengacara atau pembela hukum.

Maka terhadap proses perkara pidana khususnya, jika ilustrasinya adalah kasus penggunaan ijazah palsu oleh pejabat publik, maka hakim majis harus bisa diyakini oleh JPU bahwa barang bukti ijazah a quo in casu adalah asli atau tidak palsu, atau sebaliknya diyakinkan oleh tim advokasi bahwa kliennya tidak bersalah, karena telah membuktikan bahwa ijazah korban pelapor nyata palsu sesuai kebenaran materil alat bukti yang terungkap  secara terbuka dipersidangan.

Oleh karenanya keabsahan alat alat bukti (keterangan saksi dan barang bukti) yang menjadi sumber objek tuduhan dari "Korban pelapor" karena dituduh  berijazah palsu, harus diuji hal kebenaran materil terkait "apakah" saksi korban pelapor benar terbukti telah atau memang benar mengikuti progam akademik (selama perkuliahan), dan pola lain yang intensif dan kompleks dari  para penegak hukum untuk menggali kebenaran materil melalui;

1. Identifikasi dan autentifikasi terkait identitas jatidiri sebagai mahasiswa, seperti kebenaran eksitensi nama korban pelapor ada dalam daftar siswa kelas yang dikenali oleh teman temannya atau dosen dsn oihak dekanat dan rektorat termasuk tentang spesifikasi yang dapat dikaitkan pada sebuah momentum atau peristiwa yang sifatnya spesifik; 
2. Faktor bukti kehadiran pada jadwal perkuliahan dan kehadiran pada tiap semester atau pada masa perkuliahan, apà terbukti korban mengikut wajib program KKN dan memiliki sertifikasi KKN;
3. Ikut ujian akhir mata kuliah pokok (penjurusan) dan dinyatakan lulus serta wisuda, dan;
4. Strategi pertanyaan lainnya yang bakal lahir dari pertanyaan atau jawaban para saksi dan temuan terhadap barang bukti dalam praktik  pembelaan yang akan muncul dalam persidangan.

Para pihak penegak hukum dalam perkara pidana ijazah palsu (hakim, advokat dan JPU) dituntut untuk seksama, teliti memeriksa seluruh bukti yang ditampilkan diruang sidang dihadapan majelis hakim pada setiap agenda persidangan, baik kebenaran formal maupun terhadap kebenaran materil, termasuk terhadap substatif kebenaran keterangan dari para saksi dari kedua belah pihak (a charge dan a de charge) dan penting mesti ada pendapat dan keterangan hasil analisis para pakar atau ahli dari kepolisian atau independen yang didatangkan oleh kedua pihak (JPU & TDW) termasuk memeriksa dengan seksama terhadap barang bukti "Ijazah Asli" yang dihadirkan pihak JPU sebagai objek yang dituduh publik palsu (Para Terdakwa) dengan objek barang bukti komparasi Ijazah asli yang dimunculkan oleh tim advokasi.

Oleh sebab kebutuhan mendapatkan kebenaran materil, pemeriksaan dan pengungkapan pada setiap tahapan pemeriksaan alat bukti (keterangan para saksi dan barang bukti) yang ditampilkan oleh JPU maka Pihak Advokat pembela harus profesional, serius dan teliti, objektif, sehingga kapabel dapat melahirkan dasar keyakinan yang akuntabilitas terhadap keaslian barang bukti ijazah dan asal usul kepemilikan ijazah yang berkepastian hukum (rechtmatigheid) dan memenuhi rasa keadilan (gerechtigheid) atau hasil fakta persidangan telah membuktikan kebalikannya, dikarenakan proses pemeriksaan terhadap objek barang bukti ijazah juga harus melalui laboratorium digital forensik, oleh sebab perkara pidana menyangkut autentifikasi sebuah kertas dengan jenis surat autentik, sehingga membutuhkan kebenaran materil terkait tentang umur kertas ijazah dan juga apakah berupa produksi bahan kertas asli ijazah sesuai tahun penerbitan ijazah, termasuk usia tinta dan stempel serta nilai materai yang sama merujuk era atau masa diterbitkannya ijazah yang menjadi barang bukti JPU milik Korban Pelapor.

Hal terpenting lainnya adalah agar Majelis Hakim tidak salah menghukum, selain historis hukum dan sejarah berdirinya lembaga peradilan didasari prinsip demi tegaknya keadilan, bukan oleh sebab faktor rasa dendam (subjektifitas) atau berdasarkan rekayasa orderan (kriminilisasi) karena kepentingan para pemilik kekuasaan.

Sehingga mengingat resiko penjara, maka TDW membutuhkan advokat yang cerdas, selain berkarakter berani dan tegas dan tidak cukup sekedar proaktif namun progresif. Serta kala tim pembela TDW menemukan ada keterangan dari 'saksi korban' (saksi a charge) atau keterangan para saksi yang memberatkan TDW namun keterangan kesaksiannya tidak sesuai fakta hukum atau tidak benar dalam hubungan hukumnya atas sumpah palsu (KUHAP Jo. KUHP), maka tim advokat harus repleks seketika minta agar Ketua Majelis Hakim memerintahkan JPU untuk segera mencatat dan membuat dakwaan kepada terduga saksi a charge dimaksud.