Sesuai UU CK 2 November 2023, Tommy: Kawasan Hutan Kembalikan Statusnya, Gakkum KLHK?

Logo Gakkum KLHK, UU CK, Menko Marvel Luhut Binsar Pandjaitan, ilustrasi kawasan hutan.

PEKANBARU, Satuju.com - Sebelumnya diberitakan ada pengakuan wartawan yang dekat dengan mantan Bupati Pelalawan HM Harris, menyebut ada Kebun dalam kawasan HPT Tesso Nilo tepatnya di wilayah Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) Pelalawan, Riau, diduga pemiliknya Oberlin Marbun.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marvel) Luhut Binsar Pandjaitan, sebelumnya juga telah mengumumkan kepada publik bagi para pengusaha yang berkebun sawit dalam kawasan hutan yang akan didata Pemerintah melalui Satgas Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara.

Pernyataan Luhut itu perusahaan harus melaporkan secara mandiri, dia bahkan mengancam “jangan macam-macam Pemerintah mempunyai citra satelit, jadi jangan coba-coba membohongi Pemerintah, jumlah sawit dalam kawasan hutan atau yang belum mempunyai izin usaha yang tidak bayar pajak 16,8 juta hektar,’ katanya.

Mungkin hal ini yang membuat banyak banyak pengusaha yang kasak kusuk bahkan ada yang takut akan kehilangan kekayaan.

Sesuai UU CK, “apabila lewat 6 bulan setelah 2 November 2023 pemilik kebun sawit dalam kawasan hutan kalau tidak melaporkan ke Kemen LHK, maka akan dikenakan sanksi pidana.

Kalau pemilik kebun dalam kawasan hutan itu dilaporkan maka kepada pemilik kebun sawit itu akan dikenakan sanksi administrasi, namun kalau tidak akan sesuai UU CK maka terancam pidana.

Lalu pada Sabtu (28/10/23) ditanya salah seorang yang diduga memiliki kebun dalam kawasan hutan Oberlin Marbun, ditanya “apakah kebun dalam kawasan hutan TNTN itu sudah dilaporkan” beliau tidak berani menjawab.

Sementara terkait banyaknya pengusaha di Riau yang sebelumnya kegirangan merambah hutan untuk lahan sawit ada sanksi Satgas Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara itu, pegiat lingkungan Tommy Freddy Manungkalit, SKom SH, lagi-lagi angkat bicara.

Kata Tommy, membandingkan kasus penggunaan kawasan hutan tanpa izin yang terjadi di dalam kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) Desa Mantadulu, Kecamatan Angkona, Kabupaten Luwu Timur, Provinsi Sulawesi Selatan, yang telah diproses Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum LHK (Gakkum KLHK) Wilayah Sulawesi, beberapa hari lalu telah menetapkan tersangka. Bahkan tersangka berinisial AM (40) itu akan segera disidangkan.

“Seharusnya seperti yang sudah dilakukan Gakkum LHK Sulawesi dimana penindakan terhadap pelaku dilakukan agar memberikan efek jera kepada pelaku lain,” katanya.

“Kapan sih di Riau Gakkum setempat melakukan tugasnya, sebab banyak kok kebun dalam kawasan hutan. Atau cara penegakan hukum oleh LHK RI Riau berbeda dengan dengan Sulawesi, atau????,” ulas Tommy.

Sebelumnya Tommy telah menjelaskan, untuk masyarakat kecil atau kelompok tani yang anggotanya hanya menguasai lahan di bawah 5 hektar dan bertempat tinggal lima tahun berturut-turut di dalam atau sekitar kawasan hutan, “tidak dikenakan sanksi administratif dan diberikan solusi dalam bentuk akses legal melalui penataan kawasan hutan”.

“Pertanyaan kami pegiat lingkungan apakah tim Satgas ini akan menerima laporan untuk kebun Oberlin Marbun dalam kawasan hutan yang tinggal di Pekanbaru, yang diduga memiliki kebun ratusan hektar dalam kawasan hutan berlaku tidak UU Cipta Kerja pada beliau,” kata Tommy.

Kata Tommy, “dalam UU Cipta Kerja tidak ada pemutihan dan pengampunan bagi pengusaha yang tinggal di luar kawasan hutan. Saya sepakat menyelesaikan terbangunnya usaha atau kegiatan sebelum UU Cipta Kerja di dalam kawasan hutan yang ditandai selesainya proses hukum administrasi”.

“Namun pidananya dilanjutkan. Seperti dalam pasal 110 B UU Cipta Kerja, kawasan hutan tolong kembalikan statusnya termasuk lahan Oberlin Marbun,'' kata Tommy.

Jelas kata Tommy dalam UU Cipta Kerja ini mengatakan, pendekatan hukum yang digunakan memang ultimum remedium atau mengedepankan sanksi administratif.

“Namun ingat bukan berarti sanksi hukum hilang begitu saja. Pengenaan sanksi administratif digunakan untuk memberi ruang bagi kelompok masyarakat yang berada di dalam kawasan, contohnya akibat perubahan tata ruang, kebijakan izin lokasi yang dikeluarkan Pemda, dan juga kelompok rakyat kecil yang telah bermukim lima tahun berturut-turut,” katanya.

Nanti tentu kalau benar kebun Oberlin Marbun dalam kawasan hutan dan tidak melaporkan pada LHK maka jangan diidentifikasi penyelesaiannya melalui pasal 110 A dan pasal 110 B UU Cipta Kerja.

“Jika dia masih melakukan kegiatan baru dalam kawasan hutan setelah UU Cipta Kerja disahkan 2 November 2020 lalu, maka saya minta langsung dikenakan penegakan hukum dengan mengedepankan sanksi pidana, tidak berlaku lagi sanksi administratif untuk mereka,'' tegas Tommy.

Dalam UU Cipta Kerja ini kata Tommy, “jika sanksi administrasi dalam bentuk denda tidak dipenuhi, maka barulah melangkah ke sanksi penegakan hukum berikutnya, mulai dari pencabutan ijin dan paksaan pemerintah berupa penyitaan dan paksa badan”.

''Pasal 110 A dan B UU Cipta Kerja hanya mengurusi kegiatan yang sudah terbangun dalam kawasan hutan. Jadi kalau ada yang bermain-main dalam kawasan hutan setelah UU Cipta Kerja disahkan kebun sawit dalam kawasan hutan tanpa memiliki perizinan atau persetujuan Menteri LHK, segeralah berhenti karena pasti langsung dikenakan sanksi pidana,'' ulas Tommy.**