HGU Terancam Regulasi, Perusahaan Sawit Mulai Ketar Ketir
Ilustrasi
Jakarta, Satuju.com - Adanya ketidakpastian dalam implementasi UU 6/2023 Penetapan Perppu 2/2022 tentang Cipta Kerja, khususnya Pasal 110A dan Pasal 110B membuat perusahaan sawit mulai ketar ketir jelang 2 November 2023.
Para penipu dan pelaku usaha sawit yang berpandangan Hak Guna Usaha (HGU) tidak bisa tunduk terhadap Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) atau Omnibus Law. Sebab, banyak HGU yang diterbitkan pemerintah Indonesia jauh sebelum Omnibus Law Cipta Kerja berlaku.
Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi), Prof. Bustanul Arifin meminta pemerintah untuk menetapkan tujuan dan memperhatikan benar aturan yang digunakan sehingga tidak membingungkan para pelaku industri kelapa sawit.
Menurutnya, sebanyak 2,2 juta hektar lahan tersebut terancam diputihkan oleh Satuan Tugas apabila tidak memenuhi persyaratan bidang kehutanan, paling lambat tanggal 2 November 2023. Dasar hukum pemutihan ini mengacu pada Undang-undang Cipta Kerja Nomor 110 A dan 110 B.
“Penggunaan Undang-undang Cipta Kerja tersebut tidak bisa dilakukan. Kami meminta Satgas Sawit ini bekerja secara objektif. Bahwa HGU itu tidak duduk pada UU Cipta Kerja sehingga terjadi multi tafsir karena sudah ditetapkan duluan pada UU Agraria tahun 1960,” kata Bustanul dalam Forum Group Discussion 'Menimbang satuan tugas tata kelola industri kelapa sawit' di Nagara Institute, Kamis (5/10/ 2023).
Dia mengatakan menyediakan sangat mendukung inisiasi tata kelola yang dilakukan pemerintah dengan segala tujuan dan manfaatnya untuk memajukan industri kepala sawit di negeri ini. Oleh karena itu, menurutnya pemerintah perlu melakukan dialog dan sosialisasi dengan pelaku industri dan masyarakat untuk mencegah adanya penafsiran yang berbeda.
Menurutnya penilaian penetapan kawasan hutan yang di dalamnya terdapat lahan sawit disebabkan adanya kerancuan dalam proses perizinan sehingga menimbulkan polemik dikalangan pelaku usaha.
“Dari awal tentang penetapan kawasan hutan itu sering jadi masalah dimana sawit ada di dalamnya. Karena tidak terlalu jelasnya landasan hukum yang di-campur aduk dan akhirnya timbul multi tafsir dari sanksi yang akan dikerjakan oleh satgas,” ujar Bustanul.
Ketua Umum Rumah Sawit Indonesia (RSI) Kacuk Sumarto mengatakan Kementerian ATR-BPN harus bertanggung jawab terhadap putusan hukum yang sudah dikeluarkan. Kacuk merasa kecewa jika ATR-BPN justru merasa kerap dibentur-benturkan dengan KLHK.
“Yang pertama kepada ATR BPN, Pak Menteri, Dirjen dan semuanya jangan merasa dibentur-benturkan kepada KLHK. Kalau kami pelaku sawit itu, menyampaikan keluhan-keluhan kalau HGU Kami, sertifikat hak milik kami, dimasukkan ke dalam kawasan hutan,” ujar Kacuk.
Kacuk yang juga Komisaris PT Paya Pinang Group itu menilai, dengan direncanakannya pemutihan terhadap 2,2 juta hektar sawit yang memiliki HGU itu, seharusnya Kementerian ATR-BPN protes. Pasalnya, keluarnya HGU sendiri turut dibidani oleh KLHK serta pemerintah daerah.

