Isu Pelanggaran HAM Masa Lalu Jadi Topik Pembicaraan Debat Capres-Cawapres Pemilu 2024
Ilustrasi
Dalam perdebatan capres cawapres Pemilu 2024, sejumlah masalah menjadi perhatian. Salah satunya perihal pelanggaran Hak Asasi Manusia atau HAM.
Namun, Ketua Komisi Pemilihan Umum atau KPU Hasyim Asy’ari belum memastikan isu pelanggaran HAM berat akan dimasukkan dalam debat capres cawapres.
“Tema pertama adalah tentang pemerintahan, hukum, hak asasi manusia, pemberantasan korupsi, penguatan demokrasi, pelayanan publik, dan kerukunan warga negara. Jadi ya kalau ada topik (pelanggaran HAM berat) itu di topik debat pertama,” kata Hasyim, kepada wartawan di gedung KPU, Rabu, 6 Desember 2023 melansir tempo.co.
Wacana pelanggaran HAM berat jadi isu perdebatan capres cawapres kembali muncul setelah diusulkan Amnesty International Indonesia. Dikutip dari Antara, Amnesty International Indonesia menyampaikan tiga topik HAM kepada KPU agar dimasukkan dalam agenda debat capres-cawapres Pemilu 2024. Hal itu diungkapkan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid pada Rabu, 6 Desember 2023 lalu.
Dia mengatakan, ada tiga agenda terkait HAM itu di antaranya kebebasan berekspresi, agenda HAM untuk memastikan aparat keamanan memiliki akuntabilitas dan pertanggungjawaban, serta pelanggaran HAM berat. Usman menyarankan kepada KPU RI untuk meninjau visi-misi dari tiga pasangan capres-cawapres mengenai pelanggaran HAM berat dalam perdebatan.
“Terkait dengan penyelesaian pelanggaran HAM berat, termasuk juga pencegahan terhadap kasus pelanggaran HAM berat di kemudian hari,” kata Usman.
Pelanggaran HAM berat masih menjadi pekerjaan rumah alias PR bagi pemerintah. Disadur dari Koran Tempo terbitan Rabu, 11 Desember 2019, sepanjang periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM menilai pengungkapan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tak mengalami kemajuan.
Ketua Komnas HAM saat itu, Ahmad Taufan Damanik mengatakan lembaganya telah menyodorkan sebelas berkas kasus pelanggaran HAM berat masa lalu kepada pemerintah. Namun, selama rentang 2014 hingga 2019, tak satu pun kasus tersebut diselesaikan oleh Jokowi. “Dalam lima tahun terakhir ini tidak ada kemajuan,” kata Ahmad kepada Tempo, di Jakarta, Selasa, 10 Desember 2019.
Ahmad Taufan menuturkan Komnas HAM di antaranya telah menyerahkan dokumen penyelidikan pelanggaran HAM berat seperti kasus pembantaian 1965, kasus Rumoh Geudong 1989, peristiwa Trisakti 1998, kasus Ninja, kasus Wasior, kasus Wamena, dan pembunuhan dukun santet di Banyuwangi pada 1998. Semua berkas kasus itu telah dilimpahkan ke Kejaksaan Agung. Namun Kejaksaan mengembalikan berkas kasus tersebut. Alasannya, ada perbedaan metode penyelidikan kasus.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, Haris Azhar, malah menilai jeblok atas penanganan pelanggaran HAM masa lalu oleh pemerintah Jokowi. Dia menyebut kinerja pemerintahan Jokowi lebih buruk dari kinerja pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY. Alih-alih merampungkan kasus lama, Haris menyebut Jokowi justru menambah kasus pelanggaran HAM baru
“Kasus lama enggak ada yang selesai, malah diperburuk dengan pelanggaran HAM baru,” kata Haris.
Dia mencontohkan kasus kekerasan dan kematian mahasiswa pada saat demonstrasi menentang revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi pada September 2019. Lokataru Foundation juga mencatat ada pengekangan kebebasan berekspresi pada era Jokowi dengan cara mengriminalisasi sejumlah aktivis. Ada juga kasus kekerasan di Papua. “Yang harusnya dilindungi malah kehilangan haknya. Situasi HAM kita makin buruk,” kata Haris.
Setahun kemudian, Jumat, 11 Desember 2020, Koran Tempo kembali memuat berita tentang penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. Satu tahun berlalu pemerintahan periode kedua Jokowi, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS menilai pemenuhan hak asasi manusia dalam kurun hingga 2020 semakin terancam. Ancaman itu hadir dalam bentuk legitimasi negara terhadap berbagai dugaan pelanggaran HAM di lapangan.
“Legitimasi negara terhadap pelanggaran HAM ini muncul dalam berbagai bentuk, baik yang sifatnya tindakan langsung maupun pembiaran,” katanya, Koordinator Badan Pekerja Kontras, Fatia Maulidiyanti, Kamis, 10 Desember 2020, bertepatan dengan peringatan Hari HAM Sedunia.
Dalam rangka memperingati Hari HAM Sedunia itu, KontraS menggelar evaluasi. Dalam evaluasinya, Kontras menemukan pemerintah belum serius menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM. Bahkan, pemerintah justru merangkul aktor pelanggar HAM berat. Catatan Kontras selaras dengan temuan Komnas HAM. Dari 12 pelanggaran HAM berat masa lalu yang mereka laporkan pada tahun 2020, tak satu pun ditangani pemerintah.
Dilaporkan dari Majalah Tempo edisi Ahad, 9 Juli 2023, Komnas HAM mencatat ada 16 kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia. Empat kasus sudah dibawa ke meja hijau melalui mekanisme yudisial. Yakni kasus di Timor Timur, Tanjung Priok (Jakarta), serta Abepura dan Paniai (Papua). Namun semua penipu dalam kasus itu bebas. Para hakim pengadilan ad hoc HAM menilai bukti yang disodorkan Kejaksaan Agung dan Komnas HAM tidak cukup kuat menjatuhkan vonis bersalah.
Penyelesaian di luar pengadilan melalui mekanisme Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) juga menemui jalan buntu. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 yang mengatur pembentukan KKR telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2006. Akibatnya, mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM dengan jalur serupa yang sudah berjalan di Aceh kehilangan pijakan hukum.

