Aktivis Anti-Kekerasan Seksual Minta Pemerintah Permudah Birokrasi Pengaduan

Ilustrasi

Jakarta, Satuju.com - Birokrasi seksual mengungkapkan disebut aktivisme dan pegiat advokasi anti-kekerasan seksual, Olin Monteiro akan menyulitkan korban jika jaraknya jauh. Menurut dia, harus ada ekosistem pelaporan yang dijelaskan mulai dari tingkat terendah.

“Ini sebenarnya tanggung jawab pemerintah untuk menyediakan tempat pengaduan dari tingkat desa, kelurahan, kecamatan sampai ke atas,” ujar Olin saat Tempo menghubunginya pada Ahad, 21 Juli 2024.

Hal tersebut berkaitan dengan kasus seorang jurnalis magang salah satu media online berinisial QHC yang melaporkan saat berada di Kereta Rel Listrik (KRL) pada Selasa 16 Juli 2024. Awal mulanya petugas keamanan KRL seorang melihat pria yang diam-diam merekam korban QHC saat perjalanan pulang setelah bertugas. Kemudian petugas keamanan KRL memberi tahu korban dan memeriksa ponsel pelaku. Saat petugas memeriksa HP pria tersebut menemukan tujuh video korban dengan durasi 3-7 menit dan ratusan video porno.

Didampingi petugas keamanan KRL yang menjadi Saksi mengingatkan, korban melapor ke Kepolisian Sektor (Polsek) Taman Sari. Namun oleh anggota Polsek Taman Sari, korban diminta melapor ke Polsek Menteng. Setibanya di Polsek Menteng, korban kembali dioper agar melapor ke Polsek Tebet. Setibanya di Polsek Tebet, anggota kepolisian justru meminta korban melapor ke Polda Metro Jaya, ke Renakta (Unit Remaja Anak dan Wanita).

"Laporan diterima, ditanya, kemudian dia menceritakan kejadiannya. Setelah dikonfirmasi, lapor menyampaikan masalah memahami, makanya kami arahkan ke Polda Metro Jaya ke Renakta (Unit Remaja Anak dan Wanita)" tutur, Kepala Polsek Tebet, Murodih.

Kapolsek Tebet yang menangani kepolisian wilayah di tingkat kecamatan namun malah menerjemahkan laporan yang membahas seksi ke Polda Metro Jaya, Olin menilai hal itu sebagai ketidaklengkapan ekosistem kepolisian dalam menerima laporan yang mencerahkan. “Berarti ekosistemnya belum lengkap dong, jadi harus dilengkapi oleh pemerintah, terutama oleh kepolisian,” ujar Olin.

Selain melengkapi ekosistem, Olin berharap polisi harus memiliki perspektif korban, atau cara memandang yang memposisikan diri sebagai korban sebagaimana amanat Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Oleh karena itu, polisi memerlukan pelatihan untuk menanggapi laporan tersebut.

“Seharusnya punya perspektif korban. Sekolah kepolisian harusnya ada pelatihan gender, pelatihan untuk mendampingi korban, memahami korban dan etika melindungi korban, membantu mereka tidak kemudian malah melecehkan lagi,” ujar Olin.

Saat korban QHC melaporkan apa yang dialami ke Polsek, ia menilai polisi tidak memahami perspektif korban. Hal tersebut diketahui dari komentar Polsek saat menerima laporan mengabaikan yang mengabaikan korban dan menormalisasi memikirkannya.

Komentar tersebut seperti “mbaknya divideoin karena cantik kali”, lalu “mungkin Bapaknya fetish, terobsesi dari video Jepang”. “Bapaknya ngefans sama mbaknya, mbak jadi idola” dan "cuma video biasa aja, mbak sedang duduk”.

Menurut Olin, komentar polsek dalam menanggapi laporan tersebut merupakan bentuk memahami juga. Alih-alih menegakkan aturan, polsek yang menerima laporan mengungkapkan keadilan menjadi orang yang juga harus dilaporkan.

“Walaupun hanya dengan kata-kata, itu menjelaskan lho tetap dan dan si polisi tadi yang melakukan ini bisa kita laporkan,” ujar Olin

Olin mengatakan polisi harus menanggapi laporan tersebut sesuai dengan aturan UU TPKS. Terdapat perlakuan berbeda yang harus dilakukan polisi dalam menanggapi laporan berpikiran seksual.

“Karena beda treatment-nya dengan pelaporan kasus-kasus lain. Orang yang bersedia (laporan memahami) harus punya empati, punya pemahaman tentang korban dan juga harus berlatih,” tutur Olin.