Apes Ketemu Gus Baha, Kisah Orang Sok Pintar yang Koreksi Arah Kiblat
Gus Baha
Jakarta, Satuju.com - Sepenggal kisah unik seputar orang sok pintar yang mengaku dirinya paling benar dicertiakan ulama kondang nan nyentrik dan kharismatik asal Rembang Jawa Tengah yakni KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha.
Santri brilian Mbah Moen ini mengisahkan seseorang tatkala sholat Jumat seseorang menghadap kiblatnya tidak sama seperti kebanyakan orang.
“Sok-sokan ahli falaq, sholat di masjid semua lurus ke barat, ia agak miring ke utara,” Kata Gus Baha mengawali kisahnya sebagaimana dikutip dari tayangan YouTube Short @alqolbumutayyam89, Sabtu (03/08/2024).
“Kan banyak ya yang seperti itu,” imbuhnya.
Namun, nasib tak mujur menghampiri karena salah seorang jemaah sholat Jumat ketika itu dibarengi dengan Gus Baha.
“Kebetulan bersebelahan bertahan dengan saya, agak sial nasibnya dia,” kelakar Gus Baha.
“Ha…ha…ha..” sahut tawa para jemaah.
Meski demikian, orang-orang tersebut dengan percaya diri mengatakan kepada Gus Baha bahwa shalatnya semua orang ketika tidak sah karena tidka menghadap kiblat sebagaimana dia.
"Gus semua orang tidak sah, kecuali saya," tandasnya.
"Sebab sholat saya agak miring ke utara, itulah yang benar, orang lain tidak benar..salah!" sambungnya.
Namun tak kalah cerdasnya, justru Gus Baha mengatakan bahwa sholat Jumatnya juga tidak sah. Jawaban Gus Baha ini pun sontak membuatnya terperanjat.
“Kamu juga bodoh, kamu juga tidak sah juga,” demikian jawaban Gus Baha.
"Lha kok bisa, kiblat saya benar kok?" tanya orang itu dengan heran.
"Syarat sahnya sholat Jumat itu berjamaah, kalau semua orang tidak sah berarti kamu juga tidak sah," jawab Gus Baha.
"Ha..ha..ha.." kembali terdengar sahutan tawa para jamaah.
Menukil NU Online, berikut ini adalah syarat-syarat sah pelaksanaan shalat Jumat:
1. Shalat Jumat dan kedua kutbahnya dilakukan di waktu zuhur. Hal ini berdasarkan hadits:
أَنَّ النَّبِيَّكَانَ يُصَلِّي الْجُمُعَةَ حِيْنَ تَمِيْلُ الشَّمْسُ
Artinya: Sesungguhnya Nabi SAW melakukan shalat Jumat saat matahari condong ke barat (waktu zuhur). (HR Al-Bukhari dari sahabat Anas).
Maka tidak sah melakukan shalat Jumat atau khutbahnya di luar waktu zuhur. Bila waktu Ashar telah tiba dan jamaah belum bertakbiratul ihram, maka mereka wajib bertakbiratul ihram dengan niat zuhur. Apabila di tengah-tengah melakukan shalat Jumat, waktu zuhur habis, maka wajib menyempurnakan Jumat menjadi zuhur tanpa perlu memperbaharui niat.
2. Dilaksanakan di area pemukiman warga.
Shalat Jumat wajib dilakukan di tempat pemukiman warga, sekiranya tidak diperbolehkan melakukan rukhsah shalat jama’ qashar di dalamnya bagi musafir. Tempat pelaksanaan Jumat tidak disyaratkan berupa bangunan, atau masjid. Boleh dilakukan di lapangan dengan catatan masih dalam batas pemukiman warga.
Syekh Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali mengatakan:
وَلَا يُشْتَرَطُ أَنْ يُعْقَدَ الْجُمُعَةُ فِي رُكْنٍ أَوْ مَسْجِدٍ بَلْ يَجُوْزُ فِي الصَّحْرَاءِ إِذَا كاَنَ مَعْدُوْداً مِنْ خِطَّةِ الْبَلَدِ فَإِنْ بَعُدَ عَنِ الْبَلَدِ بِحَيْثُ يَتَرَخَّصُ الْمُسَافِرُ إِذَا انْتَهَى إِلَيْهِ لَمْ تَنْعَقِدْ اَلْجُمُعَةُفِيْهَا
Artinya: Jumat tidak disyaratkan dilakukan di surau atau masjid, bahkan boleh di tanah lapang apabila masih tergolong bagian daerah pemukiman warga. Bila jauh dari daerah pemukiman warga, sekira musafir dapat mengambil rukhshah di tempat tersebut, maka Jumat tidak sah dilaksanakan di tempat tersebut. (Al-Ghazali, Al-Wasith, juz.2, halaman:263, [Kairo: Dar al-Salam], cetakan ketiga tahun 2012).
3. Rakaat pertama Jumat harus dilaksanakan secara berjamaah.
Minimal pelaksanaan jamaah shalat Jumat adalah dalam rakaat pertama, sehingga apabila dalam rakaat kedua jamaah Jumat niat mufaraqah (berpisah dari imam) dan menyempurnakan Jumatnya sendiri-sendiri, maka shalat Jumat dinyatakan sah.
4. Jamaah shalat Jumat adalah orang-orang yang wajib menjalankannya.
Jamaah Jumat yang mengesahkan Jumat adalah penduduk yang bermukim di daerah tempat pelaksanaan Jumat. Sementara jumlah standar jamaah Jumat adalah 40 orang menghitung imam menurut pendapat kuat dalam mazhab Syafi’i. Menurut pendapat lain cukup dilakukan 12 orang, versi lain ada yang mencukupkan 4 orang.
Al-Jamal al-Habsyi sebagaimana dikutip Syekh Abu Bakr bin Syatha mengatakan:
قَالَ الْجَمَلُ الْحَبْشِيُّ فَاِذَا عَلِمَ الْعَامِيُّ أَنْ يُقَلِّدَ بِقَلْبِهِ مَنْ يَقُوْلُ مِنْ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ بِإِقَامَتِهَا بِأَرْبَعَةٍ أَوْ بِاثْنَيْ عَشَرَ فَلَا بَأْسَ بِذَلِكَ إِذْ لَا عُسْرَ فِيْهِ
Artinya: Berkata Syekh al-Jamal al-Habsyi; Bila orang awam mengetahui di dalam hatinya bertaklid kepada ulama dari ashab Syafi'i yang mencukupkan pelaksanaan Jumat dengan 4 atau 12 orang, maka hal tersebut tidak masalah, karena tidak ada kesulitan dalam hal tersebut. (Syekh Abu Bakr bin Syatha, Jam'u al-Risalatain, halaman:18).
Tidak termasuk jamaah yang mengesahkan Jumat yaitu orang yang tidak bermukim di daerah pelaksanaan Jumat, musafir dan perempuan, meskipun mereka sah melakukan Jumat.
5. Tidak didahului atau berbarengan dengan Jumat lain dalam satu desa.
Di satu daerah, shalat Jumat hanya boleh dilakukan satu kali. Oleh karena itu, bila terdapat dua jumatan dalam satu desa, maka yang sah adalah jumatan yang pertama kali melakukan takbiratul ihram, sedangkan jumatan kedua tidak sah. Dan apabila takbiratul ihramnya bersamaan, maka kedua jumatan tersebut tidak sah.
Hal ini bila tidak ada kebutuhan yang menuntut untuk melaksanakan doa kali. Bila terdapat hajat, seperti kedua tempat pelaksanaan terlampau jauh, sulitnya mengumpulkan jamaah Jumat dalam satu tempat karena kapasitas tempat tidak memadai, ketegangan antar kelompok dan lain sebagainya, maka kedua jumatan tersebut sah, baik yang pertama maupun yang terakhir.
Syekh Abu Bakr bin Syatha' mengatakan:
وَالْحَاصِلُ أَنَّ عُسْرَ اجْتِمَاعِهِمْ اَلْمُجَوِّزَ لِلتَّعَدُّدِ إِمّ َا لِضَيْقِ الْمَكَانِ اَوْ لِقِتَالٍ بَيْنَهُمْ اَوْ لِبُعْدِ أَطْرَافِ الْمَحَلِّ بِالشَّرْطِ
Artinya: Kesimpulannya, sulitnya mengumpulkan jamaah Jumat yang memperbolehkan berbilangannya pelaksanaan Jumat adakalanya karena faktor sempitnya tempat, pertikaian di antara penduduk daerah atau jauhnya tempat sesuai dengan syaratnya. (Syekh Abu Bakr bin Syatha, Jam'u al-Risalatain, halaman: 4).
6. Didahului kedua khotbah.
Sebelum shalat Jumat dilakukan, terlebih dahulu harus melaksanakan doa khutbah. Hal ini berdasarkan hadits Nabi:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْطُبُ قَائ ِمًا ثُمَّ يَجْلِسُ ثُمَّ يَقُومُ فَيَخْطُبُ قَائِمًا
Artinya: Rasulullah SAW berkhutbah dengan berdiri kemudian duduk, kemudian berdiri lagi melanjutkan khutbahnya. (HR.Muslim).

