Tanpa Dilengkapi Skill, Ingin Jadi Jurnalis atau Pengemis?

Drs. Wahyudi El Panggabean, M.H., MT.BNSP., C.PCT. (Poto/istimewa).

Oleh: Drs. Wahyudi El Panggabean, MH, MT.BNSP., C.PCT*)

Kekayaan Anda tidak terkunci di brankas, tapi di pikiran Anda. (Kekayaanmu, tidak terkunci di brankas, tetapi di dalam pikiranmu).

DI Era Teknologi Informasi Modern kini, masa depan seorang Jurnalis dihadapkan pada dua kemungkinan:

Kesatu, tumbuh menjadi wartawan profesional.
Kedua, hidup menjalani yang sulit sebagai "Jurnal Pengemis".

Saya berharap, Anda_siapa pun Anda_memiliki alternatif yang pertama. Meskipun konsekuensi atas pilihan itu, menghadapi risiko yang berat. 

Sebab, seharusnya kita sadari: Dunia ini kejam terhadap orang miskin (Dunia ini kejam bagi pria miskin). 

Tetapi jika Anda tidak berani memilih yang pertama, saya menyarankan Anda untuk meninggalkan profesi jurnalis. 

Sebab, tidak satu pihak pun, yang diuntungkan oleh kehadiran Wartawan "Abal-abal".

Profesi wartawan, menawarkan kejayaan, dengan tebusan syarat mutlak: integritas, keberanian, kegigihan & kecerdasan. 

Inilah antara lain, persyaratan agar wartawan beroleh kompetensi dan keterampilan jurnalistik yang diperlukan untuk mencapai predikat wartawan profesional. Simak penjelasannya sbb:

Integritas, berarti mengutamakan moral daripada mengutamakan profesi atas dalih kebutuhan perut serta kemewahan. Integritas adalah pagar kokoh penjaga kode etik jurnalistik.

Keberanian menjadi harga mati, modal utama menjalankan prosesi tugas jurnalistik untuk berburu, mengolah serta menyampaikan kebenaran melalui berita yang ditulis kemudian disiarkan.

Anda akan menjadi wartawan, jika Anda menguasai ilmu wartawan. Sebaliknya, Anda akan jadi jurnalistik dan tidak bernilai, jika Anda tidak menguasai keterampilan jurnalistik. 

Satu-satunya cara untuk menguasai ilmu jurnalistik, yah, mempelajarinya. Belajar di lembaga formal, melalui buku, melalui Google, Youtube. Termasuk melalui pelatihan.

Wartawan spanduk hanya takut kepada Tuhan. Meski begitu, kode etik jurnalistik menjadi koridor tugas jurnalistik agar wartawan tidak sembarangan-wenang dalam bertugas. Tidak semaunya saja. Mengubah pena menjadi palu.

Untuk itu, seorang wartawan wajib memahami dan menjalankan Kode Etik Jurnalistik Indonesia (KEJI) sebagai pedoman wartawan dalam bertugas. Pelajari itu.

Kegigihan artinya menyerah menyerah. Gigih dalam berlatih, terus belajar secara konsisten sesuai perkembangan Iptek. 

Dengan mempelajari ilmu jurnalistik, teknologi dan ilmu lain, wawasan Anda akan berkembang.
Kecerdasan Anda semakin meningkat. Semoga Anda juga semakin rendah hati dan arif.

Ilmu jurnalistik di tingkat dasar yang harus dipahami dan dikuasai antara lain: KEJI, Teknik Wawancara, Menulis Berita, Strategi Menembus Narasumber, Teknik Memotret, Membangun Jejaring, dsb.

Semua ilmu tersebut di atas, tidak bisa dikuasai dalam waktu singkat. Butuh kesabaran untuk berlatih, belajar: teori dan praktek secara konsisten. Secara teratur.

Selain itu, seorang wartawan harus gigih dalam berburu informasi serta_seperti dijelaskan tadi_ gigih mengembangkan jejaring (pergaulan), sebagai sentra informasi. Wartawan tidak menyukai orang malas. 

Intinya, Kecerdasan sangat dibutuhkan seorang wartawan dalam tugas dan profesinya. Kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional juga kecerdasan spritual dalam mengemban profesi mulya ini. 

Tanpa kecerdasan, Anda tidak akan mampu menentukan "nilai berita" dalam suatu masalah atau peristiwa di tengah kehidupan yang berkembang pesat.

Penentuan nilai berita ini, adalah langkah awal sebuah proses pencarian informasi. Dan itu, membutuhkan kecerdasan. 

Selanjutnya, semua proses kinerja jurnalistik memerlukan kecerdasan. Kecerdasan diperlukan saat berkomunikasi dengan narasumber, saat wawancara, meminta konfirmasi, termasuk dalam proses kinerja internal di lingkungan redaksi.

Pemahaman keterampilan jurnalistik secara memadai inilah, yang menjadikan Anda seorang jurnalis yang kompeten. Sehingga, Anda layak bekerja sebagai jurnalis di media-media profesional.

PROFESIONAL WARTAWAN.
Pasal 2 KEJI mengharuskan cidera menempuh cara-cara profesional dalam menjalankan tugas jurnalistiknya. 

Artinya, seorang yang memangku profesi wartawan haruslah seorang yang profesional. Seorang jurnalis profesional, berarti seorang pemilik kompetensi karena telah memiliki keterampilan jurnalistik seperti yang dijelaskan tadi.

Jika Anda telah memiliki kompetensi_tidak ada persyaratan dengan UKW_berarti Anda layak bekerja di Perusahaan Pers yang memenuhi kewajiban Pasal 10 UU Pers yakni:

"Perusahaan Pers, memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham, atau pembagian laba bersih, serta bentuk kesejahteraan lainnya".

Jika Anda sudah berhasil menjadi wartawan di media-media besar, berarti Anda adalah seorang wartawan yang menerima kesejahteraan atau gaji secara layak dari Perusahaan Pers tempat Anda bekerja.

JURNALIS PENGEMIS.
Persoalan krusial pers saat ini adalah munculnya perusahaan media berita dalam jumlah besar yang dikelola oleh orang yang belum berpengalaman.

Data dari Dewan Pers menyebut, angka perusahaan pers amatir ini sudah di atas 40 ribu.
Persoalan susulan dari sporadisme ini justru menjamurnya oknum-oknum yang mengaku sebagai jurnalis tanpa dilengkapi skill jurnalistik yang memadai.

Tulisan ini, tidak menggiring terciptanya polemik. Tetapi, untuk mengingatkan beberapa hal:

1. Hal terpenting bagi wartawan adalah kompetensi. Anda harus berkompeten di bidang profesi wartawan. Teruslah belajar, berlatih sampai ilmu jurnalistik Anda, sempurna.

2. Tidak ada kata terlambat bagi Anda untuk sukses sebagai wartawan. Yang penting, Anda harus mau berubah. Punya kemauan yang kuat, belajar dan berlatih secara konsisten.

Tanpa itu, siap atau tidak siap, Anda akan masuk dalam kategori wartawan yang mengganggu sebagai "Wartawan Pengemis". Atau menjadi seorang “Wartawan Abal-Abal”.

*)Penulis: Direktur Utama, Lembaga Pendidikan Wartawan, Pekanbaru Journalist Center (PJC).