Kapolri Hingga KPK Diperintahkan Prabowo Sikat Koruptor
Presiden Prabowo
Jakarta, Satuju.com - Presiden Prabowo Subianto menyatakan dirinya telah memberikan kesempatan kepada para koruptor untuk mengembalikan uang rakyat yang telah dicuri. Namun, hingga 100 hari pemerintahan berjalan, belum ada satu pun yang melapor dan mengembalikan hasil korupsi.
"Saya katakan sudah 100 hari mbok sadar, mbok bersihkan diri ya kan. Hai koruptor-koruptor yang kau curi mbok kembaliin untuk rakyat. Kalau malu-malu nanti kita cari cara yang enggak malu. Tapi mbok ya kembaliin," ujar Prabowo saat menghadiri Pembukaan Kongres Ke-XVIII Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) di Jatim International Expo (JIExpo), Surabaya, Senin 19 Februari 2025.
Pakar Hukum Pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Chairul Huda, menilai instruksi tegas Presiden Prabowo terhadap aparat penegak hukum Polri, Kejaksaan Agung, dan KPK terkait pemberantasan korupsi patut diapresiasi. Namun, ia menegaskan bahwa langkah tersebut harus dimulai dengan pembersihan dari dalam institusi penegak hukum itu sendiri.
"Ya pertama-tama kita mesti apresiasi ya, direksi presidennya arahan presiden ya terhadap aparat penegak hukum untuk melakukan tindakan tegas terhadap pelaku-pelaku tindak pidana khususnya tindak-tindakan korupsi gitu kan. Tapi yang lupa dari Presiden Prabowo kemukakan adalah penindakan terhadap pelaku korupsi itu mestinya harus dimulai dari internal penegak hukum itu sendiri. Kemarin kita baru menyaksikan betapa sejumlah pejabat di Polres Jakarta Selatan dinyatakan melakukan pemerasan dalam jabatan melakukan penerimaan suap. Itu kan korupsi juga," kata Huda kepada Liputan6.com, Selasa (11/2/2026).
Menurut Huda, langkah pertama yang harus dilakukan Jaksa Agung dan Kapolri adalah memastikan bahwa institusi mereka bersih dari praktik korupsi. Tanpa itu, kata dia, publik akan tetap ragu terhadap keseriusan penegakan hukum. Terlebih, masih ada persepsi bahwa tindakan hukum yang dilakukan bisa jadi sarat dengan muatan politik.
"Sekarang kan ada semacam ketidakpercayaan masyarakat. Apa benar ini adalah upaya penegak hukum atau balas tentang politik. Misalnya Tom Lembong jadi tersangka yang gak jelas apa sebenarnya kerja negara yang jadi timbulkan keraguan bagi masyarakat. Apakah Kejaksaan Agung sebenarnya sedang menjalankan tindakan penegakan hukum atau balas tentang politik karena perbedaan pilihan politik sebelumnya misalnya begitu," ujarnya.
Di sisi lain, Huda berpandangan dalam 100 hari kerja kabinet Prabowo-Gibran belum terlihat adanya keseriusan pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Ia mencontohkan kasus pagar laut yang dinilainya ada indikasi tindak pidana korupsi.
"Belum tergambar, belum terlihat secara serius. Itu sekian hektar laut punya sertifikat. Itu kalau gak ada korupsinya gak mungkin itu bisa terjadi. Apa yang dihasilkan oleh penyelidikan Bareskrim misalnya terkait dengan dugaan praktek korupsi dalam penerbitan sertifikat tersebut? Ini yang harus dibongkar ke publik supaya publik percaya," imbuhnya.
Ia juga menyoroti perlunya investigasi terhadap dugaan korupsi yang lebih luas, termasuk yang terjadi di proyek infrastruktur besar. "Ada beberapa jalan tol, pembangunan jalan tol yang diduga ada korupsinya. Kenapa gak itu yang diangkat ke permukaan? IKN itu udah berapa puluh triliun masuk ke situ. Jadi barang busuk kayak gitu kan. Kenapa itu gak diangkat gitu loh?"
Namun demikian, Huda mengungkap adanya tantangan besar dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, salah satunya masih adanya aparat-aparat hukum yang terlibat kasus rasuah. "Tantangan terbesarnya adalah aparat penegak hukum yang gak bersih, pengadilan yang tidak bersih. Kita tahu ya, Zarof Ricar punya Rp 220 miliar dari mana itu duitnya? Jangan-jangan benar seperti disinyalir selama ini itu adalah duit yang dititipkan oleh sejumlah petinggi Mahkamah Agung berhubungan dengan pengurusan perkara," ujarnya
Ia juga menilai ketidakjelasan kasus-kasus besar yang melibatkan pejabat tinggi, seperti Firli Bahuri, juga semakin memperburuk citra penegakan hukum di mata masyarakat. "Mana Firli Bahuri itu sudah jadi tersangka berulang-ulang tahun, gak jelas kasusnya. Sementara untuk kasus semudah itu saja, katanya ada orang peras, ada yang diperas, ada uang yang diserahkan, maksudnya mudah sekali. Tapi kalau memang tidak terbukti harus dihentikan dong gitu loh. Ini dihentikan tidak, dilanjutkan tidak. Nah terus apa? Publik ya tidak percaya," jelasnya.
Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, menilai bahwa instruksi Presiden Prabowo Subianto kepada aparat penegak hukum untuk menghajar koruptor merupakan langkah tegas yang perlu didukung. Menurutnya, Presiden telah menunjukkan sikap yang bermurah hati dengan memberikan kesempatan kepada para koruptor untuk bertobat, namun hal itu justru diabaikan dan bahkan terkesan ada yang menantang.
"Jadi ya menurut saya harus ada langkah tegas untuk menunjukkan bahwa Pak Prabowo itu membela rakyat untuk kesejahteraan rakyat dengan cara apa? Ya menghajar koruptor, menghajar korupsi. Saya melihatnya itu sehingga memerintahkan penegak hukum untuk berkolaborasi, bekerja sama untuk mengejar dan menghajar, mengeroyok koruptor," ujar Boyamin kepada Liputan6.com, Selasa (11/2/2025).
Ia melihat dalam 100 hari kinerja pemerintahan Prabowo-Gibran telah menunjukkan progres yang positif dalam pemberantasan korupsi. Ia mencontohkan kinerja Kejaksaan Agung yang terus mengusut kasus besar seperti skandal Jiwasraya, termasuk menindak pejabat Kementerian Keuangan.
"Buktinya Kejaksaan Agung, malah bahkan untuk Jiwasraya menghajar juga Dirjen di Kementerian Keuangan yang dulu memberikan izin Jiwasraya sampai akhirnya dana pensiun pun hilang. Justru KPK juga gerak cepat menuntaskan beberapa kasus-kasus yang selain Hasto kan juga Pertamina, kasus yang terkait dengan Asabri, semua bergerak," paparnya.
Boyamin juga menyoroti peran Kepolisian dalam pemberantasan korupsi. Menurutnya, Kortas Tipikor Polri mulai menunjukkan kinerjanya dengan menangani beberapa kasus yang tengah berjalan. Oleh karena itu, ia menilai perintah langsung Presiden kepada aparat penegak hukum dapat mempercepat penindakan kasus korupsi, terutama karena selama ini banyak koruptor yang mengaku memiliki kedekatan dengan penguasa.
"Terus perintah langsung ini supaya apa? Karena ya kadang-kadang semua orang koruptor itu akan mengaku berlindung atau sudah dekat dengan Presiden. Kalau Presiden mengatakan hajar itu maka sudah nggak ada yang ditakuti lagi. Karena khawatir nanti jangan-jangan memang benar, memang dekat Presiden dan itu membuat ragu penegak hukum. Kalau sudah statement umum begitu kan sudah, artinya nggak ada orang lagi yang akan mengaku-ngaku dan kalau ada yang mengaku-ngaku tidak ditakuti lagi penegak hukum," tegasnya.
Adapun terkait tantangan terbesar dalam pemberantasan korupsi, menurut Boyamin, bukan hanya pada penindakan tetapi juga pada aspek pencegahan. Ia menekankan pentingnya pengawasan ketat terhadap arus masuk dan keluar uang negara agar tidak terjadi kebocoran anggaran.
Ia mengingatkan bahwa kasus seperti BTS Kominfo yang menyebabkan kerugian negara hingga 80 persen dari total anggaran Rp10 triliun tidak boleh terulang lagi. "Kita itu kan pernah jebol, kayak BTS Kominfo itu rugi 80 persen. Anggaran 10 triliun rugi 8 triliun, itu kan nggak boleh lagi. Nah itulah yang penting itu sisi pencegahan. Jangan sampai bocor lagi, justru tantangannya di situ," ujarnya.
Lebih lanjut, Boyamin menyambut baik kebijakan pengetatan dan perampingan anggaran sebagai langkah pencegahan korupsi. Menurutnya, pemotongan anggaran pada perjalanan dinas dan acara seremoni merupakan kebijakan yang tepat agar anggaran benar-benar efisien dan tepat sasaran.
"Dengan sistem sekarang ini misalnya pengetatan anggaran terus kemudian perampingan, pemotongan menguntungkan itu karena memang anggaran kita gemuk untuk hal-hal yang tidak perlu. Nah makanya ketika ini diketatkan, supaya tidak ada perjalanan dinas, acara-acara seremoni, maka itu suatu yang baik gitu. Dan itu akan betul-betul menghasilkan perubahan yang bagus nantinya, karena anggaran nanti betul-betul akan tepat sasaran, efisien, dan kemudian juga tidak ada pemborosan," jelasnya.
Boyamin menegaskan bahwa korupsi sering kali bermula dari pemborosan anggaran, suap, dan penyalahgunaan izin. Oleh karena itu, reformasi birokrasi dan efisiensi anggaran merupakan langkah yang perlu diperkuat dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. "Dengan demikian tidak ada pemborosan," pungkasnya.
Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Benny K Harman di ruang rapat Komisi III DPR, Senayan Jakarta. Anggota Komisi III DPR Fraksi Demokrat, Benny K. Harman mengatakan sikap tegas Presiden Prabowo terhadap pemberantasan korupsi sudah terlihat sejak lama, bahkan saat masa kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 lalu.
“Pertama, dari dulu sebelum jadi presiden, Pak Prabowo memang sangat marah dengan koruptor. Baca buku-buku beliau, nampak beliau sangat resah dengan koruptor. Juga ikuti narasi-narasi beliau saat kampanye Pilpres, terakhir Pilpres 2024 yang menghantar beliau jadi Presiden,” ujar Benny kepada Liputan6.com, Selasa (11/2/2025).
Benny mengatakan bahwa memang salah satu cara efektif untuk berantas korupsi ialah dengan menyeret para koruptor ke proses hukum. "Maka dengan itu, beliau (Prabowo) akan mendorong dan memperkuat lembaga-lembaga antirasuah seperti KPK, kejaksaan, dan kepolisian. Kepolisian banyak masalah, sebab itu beliau akan mendorong dan memperkuat KPK dan kejaksaan,” tegasnya.
Lebih lanjut, Benny menyatakan bahwa masyarakat pasti akan mendukung langkah Prabowo dalam memberantas korupsi. Menurutnya, keberhasilan program-program prorakyat seperti makan bergizi gratis dan pembangunan tiga juta rumah sangat bergantung pada pemberantasan korupsi di semua lini pemerintahan.
“Rakyat saya yakin pasti berada di belakang presiden soal ini. Karena program prorakyat Presiden seperti makan bergizi gratis dan program tiga juta rumah akan gagal jika korupsi tidak diberantas,” tambahnya.
Ia meyakini ucapan tegas Prabowo di acara Nahdlatul Ulama (NU) bukan merupakan isapan jempol semata. "Saya yakin itu pernyataan yang sangat serius dan kita semua menanti konsistensi beliau soal ini.” jelasnya.
Di sisi lain, Benny menilai, Pemerintah juga perlu segera mendorong regulasi yang lebih kuat, salah satunya melalui kebijakan perampasan aset hasil tindak pidana korupsi. Ia menegaskan bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset harus segera dibahas di DPR atau jika perlu, diterbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk mempercepat implementasinya.
“Saya dari awal mendorong segera RUU Perampasan Aset dibahas di DPR. Bisa juga untuk tunjukkan keseriusan, Presiden terbitkan Perppu untuk memberlakukan UU Perampasan Aset. Jika benar-benar serius!” pungkas Benny.
Sementara itu, Anggota Komisi III DPR Fraksi PKS, Muhammad Nasir Djamil menyatakan pihaknya mendukung langkah Presiden Prabowo untuk memerangi koruptor. Namun, ia menegaskan perang melawan koruptor harus disertai dengan langkah konkret dari institusi penegak hukum.
“Komisi III DPR RI mendukung penuh keinginan Presiden Prabowo Subianto berperang melawan koruptor. Niat baik yang disampaikan beliau itu harus ditindaklanjuti oleh institusi kepolisian, kejaksaan, dan KPK serta kelembagaan yang memiliki irisan dengan penegakan hukum,” kata Nasir kepada Liputan6.com, Selasa (11/2/2025).
Ia juga menekankan pentingnya tidak hanya memenjarakan koruptor, tetapi juga mengembalikan aset negara yang telah dirampas oleh mereka. “Di samping perang melawan koruptor, upaya untuk mengembalikan aset dan keuangan negara yang diakibatkan korupsi juga tak kalah penting untuk diperkuat. Sebab memenjarakan akan efektif memberi efek jera jika negara mampu secara hukum merampas kembali aset-aset hasil kejahatan korupsi.” tegasnya.
Namun, terkait dengan dorongan untuk mempercepat pembahasan RUU Perampasan Aset, Nasir menekankan perlunya kajian yang menyeluruh agar tidak terjadi penyalahgunaan dalam pelaksanaannya. “Soal RUU Perampasan Aset memang perlu kajian yang menyeluruh agar tidak mengalami ‘abuse’ dalam pelaksanaannya," pungkasnya.
Adapun Anggota Komisi III DPR Fraksi PKB, Hasbiallah Ilyas menilai, perintah Prabowo terhadap Kapolri, Jaksa Agung hingga KPK merupakan strategi untuk memerangi korupsi di Indonesia. Ia menegaskan bahwa tidak ada keraguan terhadap komitmen Prabowo dalam memberantas korupsi.
"Kita tidak meragukan pak Prabowo dalam memerangi korupsi. Kita juga yakin bahwa beliau tidak punya beban masa lalu atau hambatan moral apapun untuk memerangi korupsi di negara tercinta ini secara tegas dan tuntas," kata Ilyah kepada Liputan6.com, Selasa (11/2/2025).
Ilyas juga menyoroti pernyataan Prabowo yang sempat membuka peluang “taubat” bagi para koruptor. Ia menilai hal itu lebih sebagai himbauan moral dan bentuk pencegahan, dengan titik tekan yang lebih besar pada pemulihan aset negara.
“Pernyataan beliau yang sempat membuka pintu taubat untuk koruptor, kami melihatnya lebih sebagai himbauan moral dan pencegahan, dengan titik tekan yang lebih besar kepada recovery asset. Yakni lebih mengedepankan semaksimal mungkin pengembalian aset negara seiring dengan penegakan hukum secara tegas,” ucapnya.
“Namun seiring berjalannya waktu, ada beberapa vonis korupsi yang sangat ringan dan mencederai keadilan masyarakat, seperti dalam vonis kasus Timah yang kerugian negara mencapai triliunan tapi vonisnya ringan. Sementara aspek recovery asset-nya tidak maksimal,” sambungnya.
Oleh karenanya, ia menilai, strategi Prabowo saat ini lebih keras dan tegas dalam menindak para koruptor. “Jadi ini soal strategi saja. Intinya tetap sama, yaitu beliau tegas memerangi korupsi namun tetap mengupayakan recovery asset secara maksimal,” pungkasnya.
Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis temuan survei terbaru terkait kinerja penegakan hukum dan pemberantasan korupsi dalam 100 hari pemerintahan Prabowo Subianto. Hasilnya, evaluasi warga terhadap kondisi penegakan hukum nasional saat ini cenderung dinilai positif.
Sebanyak 41.6 persen menilai baik/sangat baik, 30.9 persen menilai sedang, 25.1 persen menilai buruk/sangat buruk, sementara 2.4 persen tidak memberikan jawaban.
"Penilaian masyarakat cenderung baik, saya kira itu satu modal yang baik bagi pemerintahan untuk menjalankan penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, karena evaluasi positif di awal pemerintahan menunjukkan tingkat harapan dan dukungan terhadap pemerintahan baru untuk menjalankan penegakan hukum," kata Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan dalam rilis daring, Minggu 8 Februari 2025.
Selain itu, temuan survei juga menyebutkan pemberantasan korupsi di pemerintahan Prabowo-Gibran dinilai cenderung positif oleh warga.
"Yang menilai baik/sangat baik 44.9 persen, sementara yang menilai buruk/sangat buruk 26.2 persen, yang menilai sedang 24.4 persen," demikian hasil survei LSI.
Sementara itu terkait kinerja penegak hukum, matoritas warga saat ini percaya dengan Kejaksaan, pengadilan, KPK, dan Polri dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi
“Dalam penegakan hukum, tingkat kepercayaan warga sebagai berikut, Kejaksaan Agung 77 persen, Pengadilan 73 persen, KPK 72 persen, dan Polri 71 persen. Dalam pemberantasan korupsi Tingkat kepercayaan tidak banyak berubah meski cenderung lebih rendah, yakni pada Kejaksaan Agung 73 persen, Pengadilan 71 persen, KPK 69 persen, dan Polri 66 persen,” demikian kutipan survei.
Adapun survei dilakukan pada 20-28 Januari 2025. Responden berjumlah 1220 dan diwawancarai melalui tatap muka oleh pewawancara yang telah dibor. Sementara margin of error 2,9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.

