Sekolah Mengajar Rumus, Tapi Lupa Mengajarkan Hidup

Ilustrasi.(Poto/net)

Sumber: @bankgitbersama.di (TikTok)

Satuju.com - Kita semua pernah duduk di bangku sekolah, menghafal rumus kuadrat, mengisi lembar ujian, mengejar nilai demi nilai. Tapi ketika dunia nyata menghadang dengan penolakan, kegagalan, dan tekanan sosial, kita mendadak gagap. Kita tahu cara menyelesaikan soal matematika, tapi tak tahu cara menyembuhkan diri setelah kecewa. Kita terbiasa menjawab soal pilihan ganda, tapi tak terbiasa memilih sikap saat dihujani kritik.

Masalah ini bukan soal kecerdasan intelektual. Seorang lulusan cum laude bisa saja tersandung burnout hanya dua bulan setelah diterima kerja. Bukan karena dia malas, tapi karena dia tak pernah belajar bagaimana cara hidup. Tak tahu bagaimana cara mengatur waktu sendiri. Tak pernah diajarkan cara berkomunikasi asertif. Tak terbiasa menerima umpan balik tanpa merasa diserang.

Ironisnya, World Economic Forum telah memprediksi sejak lama: dunia kerja abad ini lebih membutuhkan kecerdasan emosional, berpikir kritis, dan kemampuan menyelesaikan masalah kompleks—bukan sekadar kemampuan menghafal. Tapi sistem pendidikan kita masih berputar-putar pada hafalan, ulangan, dan ujian standar. Hasilnya: banyak dari kita tumbuh menjadi pintar secara akademis, tapi canggung secara emosional dan tidak adaptif terhadap perubahan.

Sudah saatnya kita membuka daftar pelajaran penting yang sekolah lupa—atau mungkin sengaja tidak—ajarkan.

Pertama, cara menghadapi kegagalan tanpa menyalahkan diri sendiri. Sekolah menempelkan nilai merah dengan rasa malu, padahal dalam hidup nyata, kesalahan adalah pintu masuk menuju pertumbuhan.

Kedua, keterampilan komunikasi. Kita butuh tahu bagaimana mendengarkan secara aktif, menyampaikan ide dengan hangat, dan menyelesaikan konflik tanpa melukai.

Ketiga, manajemen waktu dan energi. Ketika tidak ada guru yang membuatkan jadwal, banyak orang dewasa justru tersesat dalam distraksi dan kelelahan.

Keempat, kemampuan berpikir kritis. Kita perlu dibiasakan mempertanyakan, bukan sekadar menyalin. Hidup tidak memberikan kunci jawaban. Kita harus belajar membaca makna di balik informasi.

Kelima, mindset belajar seumur hidup. Belajar bukan hanya fase menuju ijazah, tapi bekal menghadapi dunia yang terus berubah.

Keenam, kecerdasan emosional. Bagaimana memaafkan, merespons kritik, membangun relasi, menjaga ketenangan saat kecewa—semua ini tidak ada dalam buku paket, tapi justru penentu ketahanan mental kita.

Ketujuh, keberanian untuk bertindak. Dunia tidak menilai seberapa hebat ide kita, tapi seberapa berani kita mengeksekusinya. Banyak orang tahu, tapi sedikit yang mau memulai. Inilah krisis dari pendidikan yang terlalu menekankan teori, tapi minim praktik.

Sekolah bisa mencetak siswa yang pandai. Tapi belum tentu mencetak manusia yang siap. Karena pelajaran paling penting dalam hidup sering kali tidak diajarkan di ruang kelas. Ia datang lewat luka, lewat proses, lewat interaksi, lewat pengalaman menjadi manusia.