Erizeli Jely Bandaro Kritisi Pernyataan Bobby Nasution: “Yang Ekstrem Bukan Cuaca, Tapi Kerusakan Hutan”
Bobby Nasution
Medan, Satuju.com — Aktivis lingkungan Erizeli Jely Bandaro menanggapi pernyataan Wali Kota Medan, Bobby Nasution, yang menyebut banjir dan longsor di Sumatera akibat cuaca ekstrem. Menurut Erizeli, fokus pada “cuaca ekstrem” mengalihkan perhatian dari akar masalah sesungguhnya: kerusakan hutan dan keseimbangan ekologi yang terganggu.
“Nak, dari dulu cuaca ekstrem itu sudah ada. Ia bagian dari siklus bumi—seperti pasang dan surut, seperti siang dan malam. Alam bekerja dengan ritme yang ia pelajari jutaan tahun tanpa rapat koordinasi atau konferensi pers,” ujar Erizeli dalam pernyataannya, Senin (1/12/2025).
Erizeli menegaskan, cuaca ekstrem bukanlah penyebab bencana, melainkan gangguan keseimbangan ekologis akibat aktivitas manusia. Penebangan hutan tanpa batas, pengerukan bukit dengan alat berat, serta perubahan bentang alam menjadi kawasan tambang dan perkebunan menjadi faktor utama meningkatnya banjir dan longsor.
“Yang rusak bukan cuacanya, Nak. Yang rusak adalah keseimbangan ekologinya,” tambah Erizeli. Ia menjelaskan bahwa air yang dulu diserap akar pohon kini mengalir tanpa rem, bukit-bukit yang menahan tanah menjadi longsor, dan sungai-sungai dipenuhi sedimen dan limbah industri.
Walhi juga menguatkan pernyataan ini melalui data yang dimiliki. Organisasi lingkungan itu menekankan, “Yang ekstrem bukan cuacanya, yang ekstrem itu kerusakan hutannya.” Dalam 10 tahun terakhir, sekitar 2.000 hektare hutan di Sumatera Utara rusak, sebagian bahkan berubah status menjadi “non-hutan” karena kebijakan administratif, bukan sebab alam.
Erizeli menambahkan, fenomena ini menunjukkan bahwa manusia lebih sering berbohong tentang penyebab bencana, terutama ketika terkait izin tambang, perkebunan sawit, atau konsesi industri lainnya. “Alam selalu berkata jujur. Yang sering berbohong itu manusia—terutama ketika ada izin tambang, sawit, atau konsesi bermain di balik kalimat ‘cuaca ekstrem’,” ujarnya.
Ia menekankan pentingnya memahami “bahasa sejati ekologi”: bumi ini cukup untuk semua, tetapi tidak akan pernah cukup bagi satu orang yang rakus.

