Rencana Pergantian Pertalite Jadi Pertamax Perlu Kajian Mendalam, Bisa Bengkakkan APBN
Ilustrasi
Jakarta, Satuju.com - Rencana pemerintah menghapus Pertalite dan mengganti Pertamax Green mulai tahun depan dirasa perlu kajian lebih mendalam. Hal ini dinilai bisa berdampak pada subsidi BBM dan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
Melansir CNNIndonesia.com, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengatakan rencana penghapusan ini adalah hasil kajian internal dan akan segera diserahkan ke pemerintah. Sebab, sesuai dengan aturan, jenis BBM yang dijual di Indonesia minimal beroktan 91, sedangkan Pertalite beroktan 90.
Dalam hal ini, subsidi yang selama ini diberikan untuk Pertalite akan beralih ke Pertamax Green 92.
“Subsidi BBM kita naikkan dari RON 90 ke RON 92, karena aturan KLHK itu menyatakan nomor oktan yang boleh dijual di Indonesia itu minum (RON) 91,” ujar Nicke dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR RI, Rabu (30). /8).
Nicke Menyebutkan Pertamax Green 92 adalah campuran antara Pertalite dan 7 persen bioetanol. Sehingga, bila bensin tersebut diluncurkan akan menghasilkan emisi karbon yang lebih rendah.
Direktur Eksekutif Energy Watch Daymas Arangga menilai penghapusan Pertalite dan diganti menjadi Pertamax Green 92 sudah pasti akan mengerek anggaran subsidi.
Terlebih, kasus peralihan subsidi ini hampir sama dengan kebijakan dari Premium ke Pertalite dulu. Sehingga, ia berharap dilakukan kajian yang mendalam dulu sebelum kebijakan tersebut ditetapkan.
"Jangan terkesan mengulang skema penghapusan Premium menjadi Pertalite yang akhirnya juga menambah beban subsidi negara karena nilai ekonominya lebih besar," ujar Daymas kepada CNNIndonesia.com.
Berdasarkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2024, pemerintah mengalokasikan anggaran subsidi energi Rp185,9 triliun atau naik 0,2 persen dari proyeksi realisasi tahun ini, Rp185,4 triliun.
Khusus subsidi Jenis BBM Tertentu (JBT), pemerintah mengalokasikan anggaran Rp25,7 triliun atau meningkat sekitar 10,3 persen dari outlook realisasi tahun ini, Rp23,3 triliun.
Menurutnya, jika kebijakan hapus Pertalite dilakukan untuk mengurangi emisi yang saat ini mengkhawatirkan, maka perlu dilakukan pendataan yang jelas terkait seberapa besar polusi bisa berkurang dengan peralihan tersebut.
"Perlu adanya matriks-matriks berupa pendataan yang jelas terkait berapa jumlah emisi yang dihasilkan oleh semua sektor, baik itu energi, industri, transportasi ataupun sektor-sektor yang berpotensi menghasilkan emisi lainnya," jelasnya.
Senada, Direktur Center of Law and Economic Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira juga menilai kebijakan tersebut berisiko memperlebar anggaran subsidi energi yang sudah ditetapkan dalam APBN 2024.
Sebab, jika Pertalite dihapus dan diganti menjadi Pertamax Green 92, maka harganya tak boleh jauh berbeda. Jika tidak, penghapusan pertalite akan mengerek inflasi yang saat ini sudah melandai, sehingga mau tidak mau harus menambah anggaran subsidi karena harga keekonomiannya berbeda.
"Implikasi lainnya, alokasi anggaran subsidi BBM berisiko melebar tahun depan dengan adanya skema baru ini karena harga Pertalite yang ada sekarang dengan Pertamax subsidi tidak boleh jauh berbeda. Kalau terlalu berbeda misalnya lebih mahal Pertamax subsidi akan timbulkan inflasi," kata Bhima.
Menurut Bhima, jika tujuan pemerintah memang ingin mengurangi polusi, maka sebaiknya lebih mendorong kendaraan listrik yang sudah diluncurkan. Bila tak cukup, maka bisa membatasi pembelian kendaraan yang berbahan bakar bensin.
"Gampang kalau mau net zero, kasih pembatasan penjualan mobil dan motor BBM untuk pasar domestik," jelasnya.
Sementara, Pengamat Energi Fabby Tumiwa mengatakan penghapusan Pertalite dan diganti menjadi Pertama Green 92 belum tentu mengerek anggaran subsidi. Sebab, tergantung pada biaya produksi dan biaya pokok BBM nya.
Meski ia memperkirakan harga bioetanol akan lebih mahal di tahun depan, tapi tak akan jauh berbeda dari saat ini.
"Tergantung biaya produksinya. Kita tidak tahu harga minyak tahun depan dan harga etanol yang jadi campuran tersebut. Perkiraan saya sedikit lebih mahal dari Pertalite karena Pertamax 92 itu campuran BBM RON 90 + etanol 7 persen. Harga ethanol bisa lebih mahal dari BBM," kata dia.
Kendati, Fabby mengimbau masyarakat sebaiknya tidak perlu khawatir karena pemerintah hanya mengalihkan subsidinya. Sehingga, kemungkinan harga Pertamax Green 92 akan berbeda jauh dari Pertalite.
Ini bisa dilihat dari perubahan subsidi BBM yang sebelumnya Premium menjadi Pertalite, sementara Premium tidak lagi dijual,” jelas Fabby.
Fabby pun menilai rencana Pertamina untuk menghapus Pertalite untuk mengurangi emisi karbon sudah sangat tepat.
Pertama, sesuai aturan KLHK, produsen BBM termasuk Pertamina tidak boleh lagi menjual BBM di bawah RON 91 sejak 2018 lalu.

