Ancaman UU Antideforestasi Eropa, 94% Petani Sawit di RI Tak Paham

Ilustrasi

Jakarta, Satuju.com - Terhadap keberlangsungan petani kecil kelapa sawit di Indonesia, Implementasi European Union on Deforestation-free Regulation (EUDR) atau UU Antideforestasi Uni Eropa (UE) dinilai dapat berpengaruh. Sayangnya, hanya sedikit dari mereka yang sudah memahami rencana peraturan tersebut.

Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ekonom M. Fadhil Hassan memaparkan sebuah hasil survei terbaru yang dilakukan lembaganya terhadap 500 petani sawit di Riau, Lampung, dan Kalimantan Barat terkait dengan kesiapan mereka menghadapi Kebijakan Deforestasi Uni Eropa tersebut. 

Sayangnya, hasil survei menunjukkan bahwa 94% petani sawit di Tanah Air belum pernah mendengar tentang aturan EUDR, meskipun kebijakan tersebut dapat berdampak signifikan terhadap mereka. Implementasi EUDR sendiri direncanakan tertunda selama 1 tahun dari tenggat waktu awal pada 30 Desember 2024.

"Padahal kan aturan ini akan sangat berdampak pada mereka. Jadi hanya 6% yang pernah mengetahui EUDR," kata Fadhil dalam diskusi Indef yang dilakukan secara berani, dikutip Kamis (24/10/2024).

Berkaca pada hal tersebut, Fadhil menekankan pentingnya sosialisasi yang lebih digencarkan oleh pemerintah, khususnya di kalangan petani sawit, agar mereka lebih siap menerapkan penerapan EUDR yang diharapkan mulai berlaku pada akhir Desember 2024.

Jika petani tidak mematuhi aturan ini, tegas Fadhil, mereka akan kehilangan akses pasar Eropa, yang selama ini menjadi salah satu tujuan ekspor utama minyak sawit Indonesia.

Selain dari segi pengetahuan, kesiapan teknis para petani untuk mematuhi EUDR juga masih rendah. Berdasarkan survei Indef, hanya 31% petani yang memahami geolokasi kebun mereka, dan 33% memiliki Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB); salah satu dokumen penting untuk memenuhi persyaratan EUDR.

“Jadi memang masih kecil sekali petani-petani yang mengetahui masalah tersebut,” tuturnya.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Tim Kerja Pemasaran Internasional Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan) Muhammad Fauzan Ridha juga meramalkan adanya dampak signifikan pada ekspor kelapa sawit Indonesia jika aturan UE ini berlaku.

Saat ini, kata Fauzan, sekitar 10% dari ekspor sawit Indonesia ditujukan ke pasar Eropa. Dengan diberlakukannya rencana EUDR, risiko Indonesia kehilangan sebagian pasar tersebut dan kerugian ekonomi hingga, US$17 miliar (sekitar Rp265,11 triliun asumsi kurs saat ini) per tahun.

Kebijakan EUDR juga diperkirakan akan berdampak pada 41,3% petani skala kecil yang mengelola perkebunan sawit RI. Mereka akan paling merasakan dampaknya karena kemandirian pada pasar ekspor yang terancam tersendat akibat aturan baru ini.

Selain ancaman terhadap petani, Fauzan menyoroti dampak negatif EUDR terhadap sektor tenaga kerja di industri kelapa sawit. Dengan adanya hambatan akses pasar ekspor, penyerapan produksi kelapa sawit akan menurun, yang dapat mengganggu mata pencaharian lebih dari 17 juta pekerja tidak langsung di sektor sawit.

“Tenaga kerja tidak langsung dan buruh-buruh harian di industri, kemudian di lahan-lahan petani, ini akan terdampak pada saat nanti penyerapan produk sawitnya akan terganggu akses pasarnya,” jelasnya.

Kementerian Pertanian memperkirakan total produksi CPO Indonesia pada tahun 2023 mencapai 51,98 juta ton, namun tren produksi CPO sejak tahun 2020 cenderung stagnan karena berbagai faktor. 

Walhasil, dengan adanya penerapan EUDR, hal ini dipandang sebagai tantangan baru yang bisa semakin menekan industri sawit nasional, terutama di sentra produksi utama seperti Riau, Kalimantan, dan Sumatra.