Berikut Solusi dari Akademisi UGM Terkait Ekosistem dan Lingkungan di Riau Hancur
Dosen dari Universitas Gajah Mada, Dr Agus Setyarso
Jakarta, Satuju.com - Kondisi ekosistem Riau disebut Dosen dari Universitas Gajah Mada, Dr Agus Setyarso sudah berantakan. Berdasarkan data per tahun 2022, deforestasi hutan di Bumi Lancang Kuning paling tinggi di Indonesia.
Menurutnya, pengelolaan hutan Riau oleh pemegang konsesi tidak memperhatikan aspek lingkungan hingga keberadaan masyarakat adat sehingga jarang terjadi konflik. ini juga menyumbangkan emisi karbon yang sudah lama menjadi perhatian internasional.
Agus menjelaskan, berdasarkan data tahun 2016 sekitar 1 juta hektare hutan di Riau sudah disulap menjadi hutan tanaman industri. Selanjutnya sekitar 3,8 juta hektar lahan sudah berubah menjadi perkebunan sawit.
“Riau ini sudah diambang kehancuran, kalau ada lembaga yang ingin memperbaiki, kenapa tidak diterima,” katanya dalam diskusi di sebuah hotel di Pekanbaru yang diadakan Patala Unggul Gesang, Selasa petang, 21 Januari 2025.
Agus menjelaskan, Riau membutuhkan remediasi antara pemangku kepentingan, perusahaan dengan keberadaan masyarakat adat untuk memperbaiki kondisi hutan dan lingkungan.
Salah satunya dengan keberadaan lembaga sertifikasi agar pengelolaan hutan di Riau khususnya dan Indonesia secara umum memperhatikan aspek lingkungan. Lembaga yang dimaksud adalah Forest Stewardship Council (FSC).
FSC merupakan organisasi non pemerintah internasional yang fokus pada pengelolaan hutan berkelanjutan. Lembaga ini menyatakan komitmennya membantu Provinsi Riau mengatasi permasalahan degradasi hutan.
Tujuannya adalah mendukung Riau sebagai pusat budaya Melayu dengan sumber daya manusia (SDM) unggul, ekonomi maju dan lingkungan yang tetap terjaga.
Direktur PT Patala Unggul Gesang Ir Nazir Foead MSc, dalam diskusi mengenai pengelolaan hutan, menyampaikan harapannya agar Riau mampu mencapai visi tersebut.
Nazir menjelaskan, FSC hadir dengan solusi melalui kebijakan remediasi atau pemulihan lingkungan. Konsep ini melibatkan semua pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah, dunia usaha, masyarakat, hingga akademisi.
“Ini adalah langkah strategis untuk mencapai visi besar Riau,” kata mantan Kepala Badan Restorasi Gambut ini.
FSC yang Didirikan di Jerman pada tahun 1993, adalah organisasi yang menetapkan standar pengelolaan hutan bertanggung jawab. Produk yang memenuhi standar FSC mendapatkan label bersertifikat sehingga menjamin pengelolaan ramah lingkungan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta menjaga hak masyarakat adat.
Melalui program FSC Remedy Framework, organisasi ini fokus pada mengatasi kerusakan lingkungan dan sosial yang disebabkan oleh praktik yang tidak berkelanjutan. Kemudian memperkuat ketahanan masyarakat lokal dan adat yang bergantung pada hutan.
Nazir juga menekankan pentingnya instrumen mediasi untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang selaras dengan kebutuhan masyarakat. Langkah ini juga membantu Riau mencapai posisi sebagai pusat kebudayaan, dengan kemajuan ekonomi dan ekosistem yang terjaga.
Direktur FSC Indonesia, Hartono Prabowo menjelaskan, FSC Remedy Framework merupakan langkah baru memulihkan ekosistem lingkungan dan sosial di Indonesia. Kerangka kerja dirancang untuk mengakomodasi kepentingan restorasi lingkungan.
"FSC menyiapkan sistemnya, termasuk contoh remediasi lingkungan yang sudah teruji," jelasnya.
Hartono memaparkan bahwa proses remediasi dilakukan melalui dialog dan kesepakatan bersama dengan para pemangku kepentingan. FSC mensyaratkan minimal 20 persen kawasan yang dikelola harus dilindungi, baik di dalam kawasan maupun sekitarnya.
“Setiap prosesnya juga melibatkan audit dan konsultasi publik,” tambahnya.
Di sisi lain, Dr Agus Setyarso mengapresiasi pendekatan transparansi yang diterapkan FSC. Keberadaannya membuka pintu dengan koridor sudah jelas, namun pelaksanaannya sangat bergantung pada pemangku kepentingan.
“Yang harus jadi target adalah data dan informasi yang lebih terbuka,” tambahnya.

