Kasus PTPN IV vs KOPSSA-M:

Kesan Negatif Sidang Lapangan Semakin Menguat, Petani: Disiapkan Drone Hakim Ketua Soni Nugraha Menolak

sidang lapangan yang digelar dalam perkara perselisihan PTPN IV Regional 3, KOPSSA-M dan para petani sawit yang berlangsung pada Senin (3/2) hingga Selasa (4/2). (Poto/ist).

Pekanbaru, Satuju.com - Pemeriksaan setempat atau sidang lapangan yang digelar dalam perkara anomali PTPN IV Regional 3, KOPSSA-M dan para petani sawit yang berlangsung pada Senin (3/2) hingga Selasa (4/2), mengkaji efektivitas dan objektivitasnya. 

Para petani yang terlibat dalam gugatan merasa pemeriksaan setempat tidak berjalan dengan maksimal, bahkan menampakkan sejumlah kejanggalan.

Dalam situasi ini, pihak petani menilai bahwa PTPN IV Regional 3 (sebelumnya PTPN V) telah lalai dalam pembangunan kebun sawit seluas 1.650 hektar yang telah berjanji dalam Perjanjian KKPA (Kemitraan Kebun Plasma). 

Berdasarkan laporan, hanya sekitar 600 hektar yang berhasil ditanami dalam jangka waktu lebih dari 25 tahun. Selama sidang lapangan, pihak petani berharap majelis hakim dapat melihat langsung kondisi kebun yang terbengkalai serta infrastruktur yang tidak memadai, seperti saluran air dan jalan yang rusak parah.

Namun, dalam pelaksanaannya, sidang lapangan tersebut dipenuhi dengan keanehan. Dua hakim, Aulia Fhatma Widhola, SH, MH, dan Ridho Akbar, SH, MH, diketahui tidak turun ke lokasi yang akan ditinjau. Melainkan hanya menunggu di dalam kendaraan. 

Sementara itu, hakim ketua, Soni Nugraha, SH, MH, tampak sangat bersemangat. Apalagi menggunakan kendaraan trail pribadi untuk memeriksa area. 

Namun, antusiasme hakim ketua ini tidak berbanding lurus dengan efektivitas pemeriksaan. Karena ia hanya bersedia melihat titik lokasi yang telah diajukan oleh pihak penggugat.

“Pak hakim ini nampaknya ke sini hanya gagah-gagahan dan menyampaikan hobi trabas saja. Tempat yang terbengkalai tak mau ditengok, yang ditinjau hanya lahan yang tertanam saja,” ujar salah seorang petani yang hadir dalam pemeriksaan tersebut.

Seorang tokoh adat setempat juga menambahkan, "Mana lah mungkin tanah lebih dari seribu hektar begini mau ditinjau dengan motor trail saja. Pak hakim ini bermaksud mencari kebenaran, hanya mencari pembenaran bukti PTPN saja."

Kesan negatif semakin menguat setelah hakim Soni Nugraha terjatuh dua kali dari motor trailnya, namun tetap stabil melanjutkan pemeriksaan dengan menggunakan kendaraan tersebut. 

Selain itu, meskipun pihak tergugat telah menyiapkan perangkat drone untuk mempermudah pemeriksaan terhadap luasan area yang sulit dijangkau, hakim ketua menolak keras penggunaan teknologi tersebut. 

Bahkan setelah berkali-kali kuasa hukum KOPSSA-M, Armilis SH, meminta penggunaan drone demi mendapatkan gambaran yang lebih riil dan komprehensif, hakim ketua Soni Nugraha tetap mengumpulkan menolak. 

Aktivis hukum dan pengamat, Guntur Abdurrahman, SH, MH, turut angkat bicara mengenai penolakan penggunaan drone dalam pemeriksaan lahan. 

Menurutnya, penolakan tersebut menunjukkan ketidakseriusan dalam pemanfaatan teknologi yang seharusnya mendukung proses hukum. 

“Ada adagium hukum, _het recht hinkt achter de feiten aan_. Hukum akan selalu tertinggal oleh perkembangan zaman. Maka penegakan hukum harus berkejaran dengan kemajuan, salah satunya dengan mengadopsi pemanfaatan teknologi untuk pembuktian,” ujar Guntur. 

“Apalagi aturan pemeriksaan setempat memang memberikan hak kepada tergugat untuk menunjukkan realitas yang sesungguhnya di lapangan,” tambahnya. 

Lebih lanjut, Guntur mengimbau agar hakim pengawas di Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung mencermati proses pemeriksaan ini. “Kami berharap kasus ini tidak berakhir pada gagasan sesat yang mempermainkan hukum dan hak warga negara,” tegasnya.

Pihak petani dan tokoh adat berharap agar kejanggalan-kejanggalan dalam proses sidang lapangan ini tidak menghalangi upaya mereka mencari keadilan. 

Mereka juga mengajak masyarakat dan lembaga hukum untuk terus mengawasi proses konferensi agar tidak ada manipulasi atau persekongkolan yang merugikan pihak yang benar.(PJC)