Damai Hari Lubis Hadapi Kasus Pencemaran Nama Baik dengan Kepala Tegak dan Senyum Tenang

Damai Hari Lubis. (poto/ist)

Jakarta, Satuju.com — Suasana siang di sebuah hotel berbintang di kawasan Jakarta Utara tampak biasa. Namun bagi Ali Syarief, hari itu terasa istimewa. Ia tak pernah membayangkan akan duduk semeja dengan sosok yang sedang menjadi sorotan publik: Damai Hari Lubis, pengacara kondang yang baru saja ditetapkan sebagai tersangka kasus pencemaran nama baik dan dugaan fitnah ijazah palsu atas laporan mantan Presiden Joko Widodo.

“Saat pertama kali melihatnya di lobi, saya sempat terpaku,” tutur Ali Syarief. “Wajahnya teduh, berjas rapi dan berdasi. Tidak ada tanda-tanda pria itu sedang diterpa badai hukum.”

Pertemuan itu terjadi secara kebetulan di sela sebuah acara yang dihadiri berbagai kalangan. Ali mengaku baru mendapat kesempatan berbincang saat jam makan siang. Bersama Damai Hari Lubis dan istrinya, mereka duduk di sudut ruang makan hotel, berbagi meja bundar di tengah suasana yang santai dan hangat.

“Obrolan kami ringan, mulai dari politik nasional, perkembangan hukum, sampai cerita lucu tentang rekan lama,” kenangnya. “Tidak ada keluhan, tidak ada pembicaraan soal status tersangka. Ia makan dengan lahap dan sesekali tertawa kecil.”

Hanya satu kali Damai menyebut nama sahabatnya, Rizal Fadhilah, yang disebutnya sedang menunaikan ibadah umrah. Di luar itu, tidak ada kesan bahwa ia tengah menghadapi tekanan hukum yang berat.

Bagi Ali, ketenangan Damai bukan sekadar sikap dingin, melainkan bentuk keyakinan diri. “Dari cara ia menatap, saya melihat seseorang yang tahu apa yang sedang ia hadapi dan siap menanggungnya,” ujarnya.

Dalam percakapan santai itu, Damai sempat menuturkan kalimat yang menurut Ali begitu melekat di benaknya:

“Dalam dunia hukum, benar dan salah itu sering kalah cepat dengan kuat dan lemah. Tapi saya tidak akan berhenti bicara soal benar.”

Kutipan itu, menurut Ali, menggambarkan karakter Damai Hari Lubis yang selama ini dikenal sebagai pengacara lantang, kritis, dan tak segan berbicara tentang keadilan bahkan ketika posisinya sedang terpojok.

Sebelum berpisah, Damai menepuk bahu Ali dengan senyum tenang.

“Tenang saja,” katanya singkat. “Semua ada waktunya.”

Bagi Ali, kalimat itu bukan sekadar penghiburan. “Ia mungkin berstatus tersangka, tapi dari sikap dan sorot matanya, saya justru melihat seseorang yang siap ‘tempur’ demi membela kebenaran,” ujarnya.

Dan dari jas serta dasi yang dikenakan Damai hari itu, Ali menyimpulkan satu pesan yang kuat  bahwa kehormatan, sebagaimana kebenaran, tak pernah bisa dituduh bersalah.