Kedudukan KPK dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia: Studi Kasus Penangkapan Gubernur Riau

HUKUM DAN POLITIK KETATANEGARAAN

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning

Oleh: Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning

1. Hanadiah P Nazara (2274201145)
2. Riris Novi Enjerisa (22742011323)
3. Desire Elia (2274201304)
4. Nesti Wati Br Saragih (2274201083)
5. Dian Fransiska (2274201176)

 
Satuju.com -
Korupsi, sebagai masalah sistemik yang menghambat pembangunan dan menggerogoti kepercayaan publik, mendorong pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2002 melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Lembaga ini lahir dari kebutuhan mendesak untuk meningkatkan efektivitas pemberantasan korupsi, yang sebelumnya dianggap belum optimal oleh lembaga penegak hukum konvensional. Kedudukan KPK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia menjadi perdebatan yang intensif, terutama terkait independensinya dan kewenangannya yang luas, sebagaimana tercermin dalam berbagai kasus yang melibatkan pejabat tinggi negara, termasuk penangkapan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis kedudukan KPK dari perspektif hukum dan politik, dengan studi kasus penangkapan Gubernur Riau sebagai contoh konkret.
 
Analisis ini didasarkan pada teori pemisahan kekuasaan dan konsep lembaga negara independen. Teori yang digagas Montesquieu menekankan pentingnya pemisahan kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Dalam konteks ini, KPK dirancang sebagai lembaga yang independen dari pengaruh kekuasaan manapun, agar dapat menjalankan tugasnya tanpa tekanan atau intervensi. Konsep lembaga negara independen mengacu pada lembaga yang memiliki otonomi dalam menjalankan tugas dan fungsinya, tanpa intervensi dari lembaga pemerintah lainnya. Namun, independensi ini harus diimbangi dengan akuntabilitas dan pengawasan untuk mencegah penyalahgunaan wewenang, seperti kewajiban KPK untuk melaporkan hasil audit keuangan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai bentuk akuntabilitas.
 
Kedudukan hukum KPK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia secara formal adalah sebagai lembaga negara yang independen. Namun, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengklasifikasikan KPK sebagai lembaga negara yang berada dalam ranah eksekutif (executive agencies atau lembaga bantu negara). Klasifikasi ini membawa implikasi terhadap akuntabilitas dan pengawasan KPK, karena menempatkannya dalam struktur pemerintahan yang lebih luas, yang mengharuskan koordinasi dengan Kementerian Hukum dan HAM dalam hal penahanan tersangka. Dasar hukum utama KPK adalah UU No. 30 Tahun 2002, yang kemudian direvisi melalui UU No. 19 Tahun 2019. Revisi ini memicu kontroversi karena dianggap mengurangi independensi KPK, meskipun lembaga ini tetap memiliki kewenangan yang signifikan dalam pemberantasan korupsi, termasuk kewenangan untuk melakukan penyadapan dengan izin dari Dewan Pengawas, yang merupakan mekanisme pengawasan baru. Sebagai bagian dari ranah eksekutif, KPK berpotensi menjadi objek hak angket oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), mencerminkan dinamika politik dan hukum ketatanegaraan yang kompleks, sebagaimana terlihat pada usulan hak angket DPR terhadap KPK terkait penanganan kasus korupsi e-KTP pada tahun 2017.
 
Dinamika politik pembentukan dan perubahan undang-undang KPK mencerminkan tarik ulur kepentingan politik yang kuat. UU No. 19 Tahun 2019, misalnya, menunjukkan bahwa kedudukan KPK tidak statis, melainkan terus beradaptasi dengan perubahan konstelasi politik dan hukum di Indonesia. Perbedaan pandangan tentang peran dan kewenangan KPK dalam sistem ketatanegaraan juga mewarnai dinamika ini, di mana beberapa pihak berpendapat bahwa KPK terlalu kuat dan perlu dibatasi kewenangannya, sementara pihak lain berpendapat bahwa KPK perlu diperkuat untuk memberantas korupsi secara efektif.
 
KPK memiliki tiga fungsi utama: pencegahan, penindakan, dan koordinasi pemberantasan tindak pidana korupsi. Fungsi pencegahan meliputi pendidikan antikorupsi, pengawasan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN), dan pengembangan sistem pencegahan korupsi di instansi pemerintah, seperti sosialisasi antikorupsi yang rutin diadakan di berbagai instansi pemerintah dan lembaga pendidikan. Fungsi penindakan mencakup penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap pelaku korupsi. Fungsi koordinasi melibatkan kerja sama dengan lembaga lain untuk meningkatkan efektivitas pemberantasan korupsi secara nasional. KPK diberi kewenangan khusus yang kuat, termasuk hak untuk melakukan penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan tanpa izin pengadilan dalam kondisi tertentu, yang diatur dalam UU KPK dan memungkinkan lembaga ini untuk bertindak cepat dan efektif. Namun, kewenangan ini juga tunduk pada pengawasan internal dan eksternal untuk mencegah penyalahgunaan, memastikan KPK tetap imparsial dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, seperti mekanisme izin penyadapan dari Dewan Pengawas yang diatur dalam UU No. 19 Tahun 2019.
 
Penangkapan Gubernur Riau merupakan contoh konkret bagaimana KPK menjalankan fungsi dan kewenangannya. Operasi tangkap tangan (OTT) ini melibatkan bukti-bukti kuat dari penggeledahan dan pemeriksaan saksi, yang menunjukkan efektivitas KPK dalam mengungkap kasus korupsi besar, termasuk pengamanan sejumlah barang bukti, seperti uang tunai dan dokumen-dokumen penting yang terkait dengan tindak pidana korupsi. Namun, kewenangan ini juga tunduk pada pengawasan internal dan eksternal untuk mencegah penyalahgunaan, memastikan KPK tetap imparsial dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, sekaligus menyoroti pentingnya independensi KPK dalam menjalankan tugasnya tanpa intervensi politik.
 
Studi kasus penangkapan Gubernur Riau menunjukkan bahwa KPK memiliki peran yang signifikan dalam memberantas korupsi di Indonesia. Namun, KPK juga menghadapi berbagai tantangan, termasuk upaya pelemahan melalui revisi undang-undang dan intervensi politik, yang menguji independensi dan efektivitas KPK dalam menjalankan tugasnya, sebagaimana terlihat pada kritik terhadap revisi UU KPK pada tahun 2019. Independensi KPK merupakan faktor kunci dalam efektivitasnya, karena tanpa independensi, KPK akan rentan terhadap intervensi politik dan tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Oleh karena itu, penting untuk menjaga dan memperkuat independensi KPK melalui dukungan politik yang kuat dan perlindungan hukum yang memadai. Akuntabilitas dan pengawasan juga penting untuk mencegah penyalahgunaan wewenang, di mana KPK harus tunduk pada pengawasan internal dan eksternal yang efektif untuk memastikan bahwa kewenangannya digunakan secara bertanggung jawab, seperti keberadaan Dewan Pengawas yang bertugas mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK.
 
Sebagai kesimpulan, KPK adalah fenomena kelembagaan yang unik dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. Keberadaannya sangat dipengaruhi oleh kebutuhan mendesak untuk memberantas korupsi, namun terus berdinamika dalam tarik ulur kepentingan politik dan kerangka hukum yang berlaku. Studi kasus penangkapan Gubernur Riau mengilustrasikan bagaimana KPK menjalankan fungsi dan kewenangannya, sekaligus menyoroti tantangan dan kompleksitas yang dihadapi dalam menjaga independensi dan akuntabilitas. KPK harus terus beradaptasi dan memperkuat diri agar tetap relevan dan efektif dalam memberantas korupsi di Indonesia. Dukungan politik dan hukum yang kuat, serta pengawasan yang efektif, adalah kunci untuk memastikan KPK dapat menjalankan tugasnya dengan baik demi mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berintegritas. Upaya ini memerlukan komitmen dari semua pihak, termasuk pemerintah, DPR, dan masyarakat sipil.
 
Untuk memastikan efektivitas KPK di masa depan, beberapa rekomendasi dapat diajukan. Pertama, pemerintah dan DPR harus mengambil langkah-langkah untuk memperkuat independensi KPK, termasuk merevisi UU KPK untuk menghapus ketentuan yang dianggap melemahkan lembaga ini. Kedua, KPK harus tunduk pada pengawasan internal dan eksternal yang efektif untuk mencegah penyalahgunaan wewenang. Ketiga, KPK harus meningkatkan koordinasi dengan lembaga penegak hukum lainnya, seperti Kepolisian dan Kejaksaan, untuk meningkatkan efektivitas pemberantasan korupsi secara nasional. Keempat, masyarakat harus dilibatkan dalam upaya pemberantasan korupsi, termasuk melalui pendidikan antikorupsi dan pengawasan terhadap kinerja KPK.