Prabowo dan Filosofi Keadilan: Amnesti, Abolisi dan Rehabilitasi di Tengah Hukum yang Rusak

Ilustrasi. (poto/net).

Penulis: Erizal

Satuju.com - Kalau Presiden Prabowo menutup kuping terhadap kasus hukum yang dihadapi Ira Puspadewi dan dua orang rekannya, bisa saja.

Atau menutup kuping terhadap kasus hukum yang dihadapi Abdul Muis dan Rasnal di Luwu Utara sana, juga bisa.

Menutup kuping terhadap kasus Hasto Kristiyanto, Tom Lembong, dan lainnya, juga bisa. Tak ada pengaruhnya bagi citra seorang Presiden Prabowo.

Tapi Presiden Prabowo memilih ikut serta terlibat dalam kasus-kasus itu, berupa pemberian amnesti, abolisi, dan rehabilitasi di ujung, karena memang ada rasa keadilan warga negara yang terusik

Hukum tak boleh dibiarkan berjalan layaknya teks-teks kaku yang kehilangan konteksnya.

Janganlah Presiden Prabowo pula yang disalahkan karena pemberian amnesti, abolisi, dan rehabilitasi itu. Apalagi dituduh intervensi, politisasi, pencitraan, cari muka, merusak hukum, dan lain sebagainya.

Kita harus tetap meletakkan pada konteks, niat baik, dan pengaruhnya ke masa depan. Apalagi dibanding-bandingkan dengan kasus lain yang bahkan, belum melewati proses hukum. Kasus yang juga ramai kereta cepat Whoosh, misalnya.

Kadang orang asal banding, asal sebut saja. Kena tak kena, urusan belakangan. Presiden dikatakan pro-koruptor! Ini banyak beredar saat pemberian amnesti dan abolisi terhadap Hasto dan Tom Lembong. Tapi dalam kasus Ira Puspadewi ini belum terdengar. Karena mungkin nuansa politiknya tak kental atau nyaris tak ada sama sekali.

Seharusnya, ini warning bagi penegak hukum di level bawah dan atas. Baik polisi, jaksa, maupun hakim, termasuk juga KPK.

KPK memang sejak awal kehilangan arah. Sejak awal ya, bukan saat ini saja. Kalau saat ini, nuansa politiknya semakin mengental.

Presiden Jokowi melantik pimpinan KPK dua kali dalam satu periode, seperti kejar target saja. Dab kasus-kasus yang menjadi perhatian publik menguap begitu saja. Ada penjelasannya, tapi tak memuaskan.

Cita-cita pendirian KPK itu adalah supervisi terhadap penegak hukum lainnya. Kalau sudah baik, maka KPK bisa saja dibubarkan. Ini penegak hukum lainnya tak kunjung membaik, KPK-nya malah ikutan tak baik pula.

Tak perlu pula dibandingkan KPK dulu lebih baik daripada KPK sekarang. Lebih heboh, mungkin. Tapi hasilnya, juga tak ada, tak banyak.

KPK ingin berdiri sendirian sebagai lembaga superbody. Bersaing, bertikai, dan malah bentrok dengan Polri. Istilahnya Cicak versus Buaya. Bahkan, sampai dua kali pula.

Kini malah tak terdengar lagi bentrok. Sebab, dua kali belakangan ini, KPK dipimpin anggota Polri. Tak bentrok justru lebih buruk. Bentrok karena saling kontrol, baik juga. Tak bentrok dianggap sedang bersekongkol, makanya dianggap lebih buruk.

Inisiator pembuat UU KPK saja sudah merasa gagal, lalu buat apa lagi KPK terus dipertahankan sampai saat ini?

Penegak hukum bisa saja kesal terhadap Presiden Prabowo yang mengumbar pemberian rehabilitasi, amnest, dan abolisi, belakangan ini. Presiden tak menghargai kerja mereka yang sudah begitu lama.

Tapi kerja yang tidak baik, lalu menghukum orang yang tak bersalah, buat apa pula dihargai? Bukankah membebaskan 1000 orang yang bersalah lebih baik daripada menghukum satu orang yang tak bersalah? 

Agaknya filosofi itulah yang sedang dipakai Presiden Prabowo. Harusnya, penegak hukum mengamalkan filosofi bahwa bukti itu harus lebih terang daripada cahaya. Jangan asal menghukum orang begitu saja.

Saat ini Presiden Prabowo sudah melantik Komisi Percepatan Reformasi Polri. Ini momentum untuk memperbaiki Polri. Kalau momentum ini lewat, maka amnesti, abolisi, rehabilitasi, atau mungkin juga grasi, akan lebih banyak bertebaran di ujung.

Presiden Prabowo pastilah tak akan melewati begitu saja momentum ini. Kendati banyak yang pesimis dengan anggota Komisi Reformasi Polri itu, tapi intinya ada pada Presiden, bukan anggota Komisi itu.

Buat apa anggota Komisinya hebat-hebat, kalau kemauan politik Presidennya justru jauh panggang daripada api. Makanya kita masih berharap niat baik dari seorang Prabowo.

Benar juga, bahwa Komisi Reformasi Polri saja tak cukup. Perlu juga Komisi Reformasi Kejaksaan dan Kehakiman. Tapi memang tak bisa sekaligus.

Istilah senior saya Miko Kamal, Ketua Peradi Kota Padang, katanya, sudah lelah kita dengan penegakan hukum yang buruk di negeri ini. Artinya, penegakan hukum di negeri memang banyak yang rusak. Karena itu, memang tak bisa sekaligus.

Tapi pelan-pelannya jangan terlalu pelan juga, sehingga orang jadi lupa dan balik lagi pada situasi yang lama.

Presiden Prabowo tak hanya perlu memberikan hak prerogatifnya di hilir dalam hal yudikatif, tapi juga harus memperbaiki penegakan hukum di hulu.

Kalau stakeholder penegakan hukum saja sudah lelah, bagaimana pula dengan warga negara pencari keadilan? Mungkin sudah lama pasrah, antipati, dan berputus asa.