Tega, Pemerintah Dituding "Setengah hati"

Pekanbaru - Carut-marut aturan perburuhan di Indonesia, menjadi masalah  tersendiri, sistim pengawas yang minim terhadap pelaku usaha juga dituding menjadi salah satu penyebab buntunya jalan bagi pekerja untuk mencapai kesejahteraan.

Sekretaris Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (SERBUNDO) Provinsi Riau, Batara Harahap,  mengatakan, pemerintah belum maksimal melakukan kontrol terhadap peraturan dan Undang-undang yang mereka buat sendiri, banyak peraturan, tapi minim pengawasan.

"Tugas pemerintah, disamping membuat Undang-undang, tentu saja memastikan bahwa Undang-undang dan peraturan berjalan sesuai porsinya," imbuhnya.

Ditambahkannya, jika terus-menerus buruh dibiarkan , jangan salahkan suatu saat kelompok buruh akan kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah. 
    
Disinggung terkait  klaster ketenagakerjaan Omnibus Law Rancangan Undang-undang atau RUU Cipta Kerja, menurutnya, pemerintah tidak seharusnya sibuk dengan Rancangan Undang-undang yang berpotensi mengundang ketidakpastian hukum.

 

"Undang-undang yang sudah ada saja belum maksimal, kan aneh, dari sekian banyak aturan yang ada, pemerintah belum mampu kok melaksanakan, apa misalnya? undang-undang 21/2000,undang-undang 13/2003,ketentuan tentang pengupahan, lembur, THR, dan lain-lain.

Hal lainnya, pemerintah harus tegas menertibkan pengusaha "nakal", bahwa banyak usaha yang seolah-olah kecil,padahal faktanya beromzet ratusan juta setiap bulan, 

Diuraikannya,"Kasihan para pekerja yang ada di sektor ini, temuan kami dilapangan, mayoritas pekerja diberi upah tidak layak, contohnya, Kedai kopi, pusat perbelanjaan, toko pakaian, pergudangan, dan jenis usaha lain," 
   
Wajar saja kemudian rancangan undang-undang Omnibus Law mendapat penolakan dari banyak kalangan, sebut saja kelompok serikat pekerja, dan buruh itu sendiri.

"Dikawatirkan bakal banyak yang hilang dari apa yang didapat oleh buruh selama ini, sebut saja potensi hilangnya hitungan Upah Minimum, potensi hilangnya Pesangon, jika terjadi PHK,pemberlakuan kontrak kerja tanpa batas waktu, waktu kerja yang tidak teratur,hilangnya jaminan sosial, dan masih banyak hal lain," ujar Batara.

Dirinya kawatir, akan terjadi gelombang protes yang berkepanjangan di setiap daerah, hal itu berpotensi mengganggu pergerakan ekonomi dan keamanan, akhirnya, pemerintah pusat dan daerah akan terkuras untuk ngurusin aksi protes.