Terakhir di Kalimantan, Hutan Suku Pemburu dan Peramu Terancam

Hutan Suku Pemburu dan Peramu

Jakarta, Satuju.com - Beberapa kali, Makruf dan Syamsul, perwakilan Masyarakat Hukum Adat (MHA) Punan Batu Benau meminta bantuan dalam sebuah diskusi di Jakarta Selatan, Kamis (6/6/2024).

Ruang hidup mereka terancam. Banyak hutan yang dibabat oleh perusahaan sawit, air sungai tak bisa lagi diminum, hingga makanan sehari-hari juga mulai langka.

"Maka dari itu kami sampai Jakarta. Jika tidak penting, kami tidak akan ke sini. Kami ingin menyelamatkan hutan kami, hutan Benau Sajau," kata Makruf.

Diskusi itu juga dihadiri oleh Direktur Kemitraan Lingkungan Jo Kumala Dewi dan Bupati Bulungan Syarwani. Bagi Makruf dan Syamsul, semua momen adalah kesempatan untuk memperjuangkan ruang hidup yang layak.

Masyarakat adat Punan Batu Benau adalah masyarakat pemburu dan peramu satu-satunya di Kalimantan. Hutan menjadi sangat penting bagi mereka.

Makruf hutan bercerita Benau Sajau dulu dan sekarang sangat berbeda drastis. Perubahan yang sangat pesat itu ditandai dengan hadirnya perkebunan kelapa sawit di sana.

"Dulu cuaca tenang, bagus. Cari ubi tidak susah. Cari segala kebutuhan itu mudah. ​​Sekarang bertahan aja susah. Sungai aja diminum susah. Karena apa? Keruh," keluh Makruf.

Saat masih kecil, Makruf merasakan betul jangkauan mereka saat berburu dan mencari makan sangat jauh. Namun saat ini, pergerakan mereka menjadi sempit.

"Hutannya sudah sempit, tinggal sedikit. Jalan sehari sudah habis. Kalau dulu kan masih luas, jalan ke mana aja bebas. Jalan ke mana aja cari ubi banyak, madu banyak. Sekarang kondisinya sedikit," kata dia.

"Kenapa? Karena banyak kayu karet, kebun, pohon sawit, lahan pengusaha. Itu semua habis kalau ditumbang (dibabat)," lanjutnya.

Syamsul yang juga keponakan Makruf mengeluhkan hal yang sama. Dia pun curiga apakah cerita orang tua dan kakek-neneknya tentang keindahan hutan Benau Saju hanya mitos.

Pasalnya, apa yang diceritakan oleh orang tua dan kakek-neneknya jauh berbeda dengan apa yang dia lihat saat ini.

"Saya ingat-ingat sejak saya kecil orang tua saya, seperti bapak saya bilang 'hutan kita ini bagus, ada kehidupan, ada tempat cari binatang, cari ubi, gampang sekali.'," kata dia.

"Sekarang ini, saya merasanya, karena pembabatan perusahaan ini, saya merasa 'eh bapak ini bohong kayaknya nih'. Bilangnya cari makan hidup nenek moyang dulu sangat gampang tapi saya anak muda tidak merasa semudah tadi. Susah sekali," lanjutnya.

Kerusakan hutan di Benau Sajau bukan karena ketidakmampuan masyarakat adat mengelola dan merawatnya. Namun, kata Syamsul, ada faktor eksternal yang merusak dan sulit untuk dilawan.

Sebagai masyarakat pemburu dan peramu, mobilitas mereka sehari-hari cukup tinggi. Mereka bisa pindah dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari sumber makanan.

Sejak hadirnya perusahaan sawit, mereka kesulitan bergerak lantaran dianggap masuk wilayah perusahaan. Syamsul menyebut perusahaan berdalih mempunyai izin kelola hutan di kawasan tersebut.

Dia pun meminta pemerintah berpihak kepada mereka. "Kami bukan tidak bisa menjaga, tapi ada orang lain seperti perusahaan bilang: 'hutan ini bukan kamu punya. Ini negara punya. Tidak ada larangannya kami menggarap hutan ini.'," kata Syamsul mengulang pernyataan perusahaan kepada masyarakat adat Punan Batu Benau.

"Kami tidak bisa apa-apa. Kami minta Pemerintah Pusat untuk kami," tambahnya.

Syamsul menyesalkan perusahaan sawit bisa mendapat izin di kawasan hutan mereka. Bahkan sampai melarang masyarakat adat Punan Batu Benau untuk memanfaatkan sebagai hutannya.

Padahal, masyarakat adat Punan Baru Benau sudah ada sejak dulu di kawasan hutan itu.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pradiptajati Kusuma dkk., masyarakat adat Punan Baru Benau diprediksi telah meninggali hutan di sekitar Goa Sajau Benau lebih dari lima ribu tahun lalu.

Adapun penelitian itu dilakukan Pradiptajati dkk sejak 2018 silam. Mereka melakukan penelitian perilaku ekologi, bahasa, pola makan, kesehatan dan genetik terhadap masyarakat Punan Batu Benau.

Pradiptajati mengatakan bahasa sehari-hari yang digunakan mereka termasuk ke dalam kelompok bahasa Austronesia. Namun, mereka juga memiliki bahasa lain untuk aktivitas seni dan doa-doa spiritual, yakni Bahasa Latala.

Bahasan Latala teridentifikasi bukan termasuk ke dalam rumpun Austronesia.

Pradiptajati dkk juga mengumpulkan sampel darah untuk mengecek asal-usul DNA mereka. Hasilnya, keberadaan masyarakat adat Punan Batu Benau lebih tua dari masyarakat yang bergenetik Austronesia.

Hal itu diperkuat dengan bauran budaya yang dibawa masyarakat Austronesia ke wilayah Dayak. Masyarakat Austronesia lebih identik dengan budaya cocok tanam atau pertanian. Namun MHA Punan Batu tidak memiliki budaya itu.

Oleh karena itu, Pradiptajati dkk mengira MHA Punan Batu Benau sudah ada di Kalimantan lebih dari lima ribu tahun yang lalu. Sebab, masyarakat Austronesia diperkirakan datang ke Kalimantan lima ribu tahun lalu.

“Austronesia secara genetik yang membawa budaya agrikultur dari Taiwan, Filipina ke selatan sekitar 5 ribu tahun yang lalu. Masyarakat Punan Batu justru lebih tua,” kata Pradiptajati.

"Yang kami pelajari, Dayak lain ada bukti Bauran dengan masyarakat Austronesia. Sementara Punan Batu tidak ada," imbuhnya.

Meski diprediksi sudah mencakup Kalimantan lebih dari 5 ribu tahun yang lalu, masyarakat adat Punan Batu Benau baru mendapatkan pengakuan dan perlindungan sebagai Masyarakat Hukum Adat (MHA) baru pada tahun 2023.

Hutan di tempat mereka juga masih berstatus konsesi hak pengusahaan hutan (HPH), belum diakui sebagai hutan adat Punan Batu Benau.