Meningkat Drastis 5 Tahun Terakhir, Greenpeace Sebut Hutan Indonesia Jadi Perkebunan Sawit

Perkebunan Sawit

Jakarta, Satuju.com - Sejak tahun 2019, luasan lahan sawit yang menimpa dan bahkan mencaplok kawasan hutan meningkat drastis.

“Kini produksi minyak sawit berada di kawasan yang masuk kategori hutan, mulai dari taman nasional, suaka satwa liar, bahkan situs UNESCO,” kata Manajer Kampanye Greenpeace Indonesia, Arie Rompas, dalam diskusi publik berjudul 'Praktik Korupsi di Balik Pemutihan Sawit di Kawasan Hutan' di Jakarta, Rabu 9 Oktober 2024.

Arie menunjuk contoh lokasi perkebunan sawit di Gunung Melintang, Kalimantan Barat. Kawasan hutan konservasi seluas 100 hektar di wilayah tersebut digunduli oleh perusahaan sawit. Lokasinya, kata dia, bersebelahan dengan perkebunan kelapa sawit yang mengantongi izin usaha perkebunan pada tahun 2007 seluas 7.000 hektare.

Contoh lainnya, kata dia, yakni ekspansi sawit di Suaka Margasatwa Bakiriang. “Ratusan hektare kawasan satwa liar dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit,” ujarnya.

Greenpeace mencatat seluruhnya sebanyak 183.687 hektare habitat orang utan di Sumatera dan Kalimantan telah diganggu oleh perkebunan sawit. Selain itu, habitat harimau sumatra seluas 136.324 hektar dan habitat gajah seluas 5.989 hektar. Hal itu menjadikan sering terjadi konflik satwa di wilayah sawit dua lokasi tersebut, yakni Sumatera dan Kalimantan.

Sebelumnya, penelitian terbaru Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari MADANI Berkelanjutan, Satya Bumi, dan Sawit Watch mengungkap kalkulasi batas atas daya dukung lingkungan terhadap perkebunan sawit di Indonesia adalah 18,15 juta hektare. Adapun luasnya saat ini 17,3 juta hektar, atau hampir 1,5 kali luas Pulau Jawa, menurut data Badan Informasi dan Geospasial (BIG) hingga akhir 2023 lalu.

Koalisi Masyarakat Sipil mengingatkan untuk menghentikan pembukaan kebun sawit baru dan mengoptimalisasi lahan yang ada, alih-alih membuka lahan baru. Jika pertumbuhan industri sawit dibiarkan tanpa pengendalian, hasil perhitungan ekonomi dan ekologi menunjukkan potensi kerugian jangka panjang untuk negara yang sangat besar.