PEMBERANTASAN KORUPSI

Butuh atau Bubarkan Saja KPK, "Inikah Saat Tepat?"

Ilustrasi

Oleh: Zainal Arifin Mochtar

(Ketua Departemen Hukum Tata Negara FH UGM dan Penasehat PUKAT Korupsi FH UGM)

Anda tidak sedang salah membaca judul. Bacaan Anda masih benar, mungkin ini saat yang tepat untuk berdiskusi apakah kita membutuhkan lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau bubarkan saja. Izinkan saya merujuk tulisan lama berjudul "KPK Kenormalan Baru" (Kompas, 31 Agustus 2020), atau sekitar empat tahun yang lalu di harian ini. Di situ saya menuliskan, “sudah saatnya masyarakat sipil memikirkan pemberantasan korupsi tanpa menjadikan KPK sebagai variabel yang penting”. Mungkin, dosis tesis lama itu ada baiknya untuk ditingkatkan, seperti judul di atas, "Inikah saat yang tepat membubarkan KPK?".

Tulisan ini berangkat dari beberapa asumsi dasar. KPK jelas sudah tidak seperti dulu. Baik secara kelembagaan maupun personal. KPK sudah “dirusak” secara sistematis sejak tahun 2019. Kelembagaannya dilucuti dan marwah personelnya diganti. Jadilah KPK, yang menurut saya, terburuk sepanjang sejarah KPK berdiri. Lebih rajin memproduksi kontroversi dibandingkan prestasi. Banyak sekali kejadian yang diubah oleh KPK menjadi penanda bahwa ia telah “membusuk”. Benar adagium lama, ikan membusuk dari kepala. Kepala busuk penanda tak ada harapan untuk menikmati tubuh yang tersisa. Kita semua telah menyaksikan gejala itu.

Masalah tak hanya itu, sumbangsih dalam menggeret pemberantasan korupsi pun telah gagal dilakukan. Potret 5 tahun terakhir, KPK ikut berdoa penuh dibalik penurunan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) terparah dalam sejarah republik ini, khususnya pasca reformasi. Belum lagi gejala selalu mendapatkan komisioner “abal-abal”. Komisioner terpilih 2024 pun kembali terlihat seperti de javu pada hasil pemilu 2019. Kembali ke soal di atas, apakah ini saatnya?

Perubahan Pemakan 
Mari membuka kembali lembaran sejarah terbentuknya KPK, sebab musabab kita membentuk KPK. Setidaknya, KPK mau dibuat dengan beberapa kausa dasar yang hampir semuanya sudah gagal dan tidak berfungsi. Pertama, KPK didirikan sebagai lembaga khusus dan lembaga luar biasa untuk melakukan pemberantasan korupsi. Itu sebabnya ia dibentuk menjadi lembaga negara independen. Mudah dipahami, 

lembaga luar biasa ini harusnya mendapatkan konsep dan mekanisme kerja luar biasa. Itu sebabnya SP3 ditiadakan, agar ada keyakinan tinggi dalam mengerjakan perkara. Itu sebabnya diindependenkan, termasuk dengan menginjeksikan penyidik independen. Itu sebabnya ia dirancang untuk melakukan langkah-langkah luar biasa termasuk OTT, penyadapan dan hal lainnya. Dan berbagai sebab lain yang memperlihatkan sebagai upaya "luar biasa" dalam melawan korupsi yang juga "luar biasa" itu. 
Kini, tak lagi demikian. KPK persis sama dengan Kepolisian dan Kejaksaan. Dua lembaga "biasa" yang telah duluan ada. KPK diadakan sebagai saudara "luar biasa", malah kini telah jadi "biasa" saja. Jika dirumuskan dalam bahasa sederhana, tak ada lagi faktor istimewa KPK yang bisa kita dalilkan sebagai lembaga luar biasa. Rumusan sederhana, "KPK=Kejaksaan=Kepolisian". Maka tentu relevan menanyakan ulang, mengapa harus ada tiga lembaga biasa yang kita gunakan? Apa urgensi mempertahankannya? Karena yang kita butuhkan adalah adanya lembaga khusus dan luar biasa serta bukan tiga lembaga yang setali tiga wang dan "biasa" saja.

Kedua, harus dibaca kembali juga, saat membangun KPK, ada logika kompetisi yang diharapkan. KPK dibangun menjadi pesaing bagi Kepolisian dan Kejaksaan dalam melakukan kerja-kerja. pemberantasan korupsi. Tiga lembaga ini diharapkan berkompetisi dalam kebaikan, semacam fastabikul khairot, "berlomba-lomba dalam kebaikan" memberantas korupsi. Logika kompetisi biasanya dipakai karena akan ada harapan pada kualitas. Namun, dalam perjalanannya tidak demikian. Alih-alih berlomba dalam kebaikan, KPK malah seakan berlomba menyaingi Kepolisian dan Kejaksaan dalam melakukan blunder pemberantasan korupsi. Itu sebabnya, mengapa dalam berbagai survey, KPK tak lagi lebih dipercaya dari Kejaksaan dan Kepolisian. 

KPK tak lagi berbeda bukan hanya secara kerja tetapi juga personil. Hampir semua pemegang jabatan penting di KPK diambil dari Kejaksaan dan Kepolisian. Yang tercipta adalah tingkat kesamaan tinggi antara KPK dengan Kejaksaan dan Kepolisian. Siapapun paham, jika ada kesamaan, cita-cita kompetisi menjadi hilang. Kompetisi akan menarik jika ada uniqueness. Belum lagi dengan gejala "bedol desa" ala Kepolisian dan Kejaksaan ke KPK yang terus meningkat secara drastis. Bodohnya kita adalah, tetap mempertahankan induk pebinaan dan promosi pegawai KPK dari Kejaksaan dan Kepolisian itu tetap berada di lembaga induknya dan bukan di KPK. Itu yang membuat para polisi dan jaksa ini bersetia pada Kepolisian dan Kejaksaan dibanding ke KPK. Kompetisi dalam kebaikan macam apa yang diharapkan ketika kondisinya demikian? 

Ketiga, menilik sejarah lahirnya,  KPK jelas diharapkan menjadi trigger mechanism bagi perbaikan Kepolisian dan Kejaksaan. Rumusan sederhananya, Kepolisian dan Kejaksaan diharapkan "menjadi KPK" dan bukan sebaliknya, yakni KPK "menjadi Kepolisian dan Kejaksaan". Suasana kebatinan membangun KPK saat itu adalah, KPK menjadi dewa penolong pembawa pelita terang di "kegelapan" yang tengah terjadi di Kepolisian dan Kejaksaan. Malangnya, saat ini di KPK pun mengalami kegelapan, dan dewa penolong telah bersalin rupa menjadi pembuat masalah. Lantas apa urgensinya mempertahankan tiga area gelap? Apa pentingnya, membiarkan terjadi gelap di tiga wilayah? Kenapa tak memilih bubarkan saja satu wilayah itu untuk mengurangi area yang gelap? 

Juara Mengharap
Selalu ada argumentasi standar bahwa kenapa KPK harus dipertahankan, karena dua basis argumentasi ala "menjaga asa".  Pertama, kita memang tak kunjung kreatif melakukan pemberantasan korupsi selain dengan pendekatan yang terlalu institusionalis. Pendekatan institusionalis itu menganalisis bahwa untuk melawan praktik korupsi maka yang dibutuhkan adalah kelembagaan yang bagus dan aturan yang baik serta personil jempolan. Institusionalis adalah pendekatan khas yang kita pahami sudah seringkali gagal, tetapi tak kunjung kita pikirkan jalan keluarnya. Ketika UU mengobrak-abrik harapan atas peraturan, lembaga dan personil itu, maka dengan seketika kita mengalami kuldesak, jadi buntu. Lalu terjadi proses mereproduksi harapan bahwa semoga ada "ratu adil" yang mau mengembalikan UU KPK menjadi independen sehingga harapan pendekatan institusionalis ala kita kembali hidup. Padahal, kita semua tahu bahwa ada semacam "penantian godot" di situ.

Saya tentu tak bisa mengelak bahwa seringkali saya juga terjebak di logika itu. Adalah bohong jika saya tak berharap Presiden Prabowo saat ini setidaknya melakukan dua hal untuk memperbaiki KPK dan pemberantasan korupsi. Yakni memperbaiki aturan (khususnya UU KPK, UU Tipikor, juga memprioritaskan RUU Perampasan Aset), serta memilih kandidat komisiomer kualitas wahid. Dua harapan agar asa "arus balik" di KPK tetap hidup. Namun sejujurnya, menghitung probabilitas atas kedua hal itu sudah nyaris nol. Pemilihan KPK yang baru saja terjadi di DPR, setidaknya menunjukkan bahwa harapan itu akan mengubah kita menjadi para juara mengharap. Selain karena komisioner yang terpilih bukanlah yang terbaik (atau setidaknya lesser evil) yang diharapkan publik bisa membuat arus balik, tetapi hasil yang ada malah menghilangkan suara penting yakni representasi masyarakat sipil di KPK. Bayangkan, komisioner terpilih adalah orang yang dengan gagah menjanjikan akan menghapus OTT di KPK. Padahal itulah salah satu strategi luar biasa dalam melakukan penindakan. Bisa jadi, janji itulah yang menjadikannya terpilih.

Belum lagi, melihat bahwa rezim kali ini sebenarnya adalah "perpanjangan tangan" rezim sebelumnya yang telah "berjasa" mengobrak-abrik KPK dan didukung oleh partai-partai dengan langgam yang nyaris seragam dalam mendomestikasi KPK. Bagaimana bisa berharap bahwa tetiba ada kesadaran rezim ini untuk mengembalikan marwah KPK, setidaknya, seperti di awal KPK dibentuk. Di titik itulah, harapan itu akan memudar, setidaknya untuk lima tahun ke depan. 

Kedua, mengharap akan adanya arus balik yang diupayakan di KPK oleh orang-orang berintegritas tersisa, -yang tentu saja minoritas-, dan nyaris tanpa suara dan kekuatan lagi di KPK. Di tengah konsep kelembagaan yang mandiri menjadi terstruktur ala birokrasi sipil negara, seringkali memenuhi menjadi parameter mutlak. Maka apa yang mungkin diharapkan bagi mereka untuk melakukan terobosan? Bukankah pada akhirnya pengambil kebijakan bukan mereka tetapi para komisioner dan petinggi yang kita pahami sulit dipercaya? Mereka melawan, apalagi secara minoritas, hanya akan menjadi angin lalu di tengah struktur sipil negara yang mengedepankan kultur kepatuhan. Bukankah yang tersisa di KPK saat ini adalah hasil produk saringan TWK (tes wawasan kebangsaan) yang mengedepankan penyeragaman pemikiran dibandingkan keluasan wacana. Ingat, penyeragaman pemikiran itu seringkali adalah simbolisasi pembodohan.

Mari Buka Diskursus
Kembali ke soal judul di atas, mungkin inilah saatnya untuk mulai membuka pemikiran dan wacana tentang itu. Tulisan ini tidak bermaksud menjadi "titik" dan kesimpulan, namun tetap "koma' yang disertai harapan memulai wacana. Sungguh, satu-satunya hal yang dapat menahan kita untuk segera melakukan pembubaran KPK karena sesungguhnya kita memang belum menemukan satu alternatif wacana baru untuk merevivalisasi pemberantasan korupsi "luar biasa" ini. Selama belum menemukan jalur alternatif sebagai jawaban ketika memandang KPK bukan lagi faktor penting dalam pemberantasan korupsi, nampaknya akan terlalu gegabah jika ujug-ujug mendeklarasikan pembubaran KPK. 

Tulisan ini semacam suara panggilan pertolongan bagi semua komponen bangsa yang masih mau dan berpikir pemberantasan korupsi harus ada dan optimal di Indonesia. Pemberi peringatan SOS bahwa kita perlu kembali duduk dan bertungkus lumus untuk mendedikasikan jalan keluarnya.

Maka, jangan berhenti di balik pertanyaanaan "inikah saat yang tepat membubarkan KPK?", mungkin harus ada pertanyaan wajib di awal, yakni "sudahkah kita menemukan jalur alternatif luar biasa dalam menghela pemberantasan korupsi di Indonesia?". Jika pertanyaan kedua telah kita temukan jawabannya, mungkin rasanya akan lebih masuk akal untuk menjawab sudah saatnya bubarkan KPK atau tidak.[]