NELAYAN: SOLAR BUKAN SEKADAR BAHAN BAKAR, MELAINKAN DENYUT KEHIDUPAN
Tuduhan ke KPPM Pungut Biaya Para Nelayan Dibantah Perwakilan dari Sembilan Desa Kec Bantan, Kompak Sebut Fitnah Meresahkan
Bantan, Satuju.com - Ketenangan pesisir Bantan terusik dalam beberapa hari terakhir. Para nelayan dari sembilan desa yang tergabung dalam Koperasi Perikanan Pantai Madani (KPPM) dibuat cemas setelah pasokan solar subsidi tiba-tiba terhenti.
Penyebabnya sebuah laporan dari salah seorang nelayan Teluk Lancar terhadap ketua koperasi ke Mapolres Bengkalis.
Bagi masyarakat pesisir yang menggantungkan hidup pada laut, kabar ini bukan sekadar polemik administratif. Tanpa solar, puluhan perahu tidak dapat bergerak. Aktivitas melaut terhenti, pendapatan tersendat, sementara kebutuhan rumah tangga terus berjalan.
Di tengah kegelisahan itu, para anggota koperasi memberikan suara bulat, mereka merasa dirugikan bukan oleh KPPM, melainkan oleh laporan yang dinilai tidak berdasar tersebut.
Ilyas, nelayan dari Pambang Pesisir, menjadi salah satu yang paling vokal. Di halaman rumahnya yang sederhana, ia menuturkan bagaimana polemik takaran solar yang sempat jadi bahan tuduhan justru berlawanan dengan kenyataan.
“Dari 195 liter yang kami ambil di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum Nelayan (SPBUN) No. 18.288.066, setelah kami sukat ulang di rumah, malah lebih 201 liter,” ujar Ilyas, Jumat (21/11/2025). “Selama ini kami tidak pernah dirugikan. Malah pihak koperasi yang sering rugi karena kelebihan takaran.”
Kisah Ilyas bukan satu-satunya. Tuduhan bahwa KPPM memungut Rp400 ribu dari para nelayan pun dibantah keras oleh perwakilan dari sembilan desa. Mereka kompak menyebutnya sebagai fitnah yang meresahkan.
“Tidak pernah ada pungutan seperti itu. Kalau ada, kami pasti bicara. Tapi kenyataannya tidak ada,” tegas mereka lantang.
Di tempat berbeda, Ramli Erliyas akrab disapa Pit, nelayan dari Desa Muntai, menyampaikan hal serupa. Menurutnya, SPBUN milik KPPM telah berjalan bertahun-tahun tanpa masalah berarti.
Ia menjelaskan bahwa pembagian jatah solar selalu disesuaikan dengan ukuran kapal, sebuah sistem yang dianggap adil dan jelas. Kapal besar mendapat 800 sampai 1.000 liter per bulan, kapal kecil mendapat lebih sedikit. Tidak pernah ada persoalan takaran atau pungutan liar seperti yang dituduhkan.
“Kalau pun dari awal ada yang kurang, kami pasti protes. Tapi tidak pernah terjadi,” ujar Pit.
Baginya, masalah yang kini muncul bukan soal pelayanan koperasi melainkan berhentinya solar yang membuat seluruh nelayan berhenti melaut.
“Kami ingin solar kembali masuk. Tanpa itu, semua berhenti. Kami mau makan, anak kami sekolah,” ungkapnya.
Di pesisir yang hidup dari ombak dan angin, solar bukan sekadar bahan bakar, melainkan denyut kehidupan. Dan hari ini, denyut itu tersendat oleh sebuah laporan yang dinilai para nelayan tidak mencerminkan kenyataan.
“Kami tidak pernah dirugikan. Tuduhan itu hanya membuat semuanya terhambat,” tutup Pit.**(Jed)

