Ira Puspadewi, Keteguhan Moral di Tengah Gonjang-Ganjing Hukum

Ira Puspadewi. (poto/ist)

Penulis: Agung Pamujo

Satuju.com – Saat itu, sebagai sekretaris perusahaan di sebuah BUMN, saya mendampingi dirut untuk menghadiri acara Kementerian BUMN di Hotel Inna Garuda, Yogyakarta.

Saya naik Garuda Indonesia dari Jakarta. Seperti biasa, saya memilih duduk di kursi darurat di baris tengah, karena jarak kursinya lebih longgar.

Setelah beberapa orang meninggalkan pesawat, barulah saya berdiri untuk mengambil tas di kabin.

Saat itulah bahu saya ditepuk seseorang. Saya menoleh. Ternyata Ira. Saya tahu saat itu Ira adalah Dirut PT ASDP Indonesia Ferry. “Hadir di acara di Inna, kan?” katanya.

Saya mengangguk, sambil berpikir. Berarti Ira tadi duduk di kelas ekonomi, baris belakang.

Lalu saya teringat kepada Dirut saya sendiri—yang duduk di kelas bisnis. Ira yang lebih sukses justru duduk di ekonomi, bahkan di baris belakang.

Saat itu, ASDP yang dipimpin Ira memang sedang terus melesat. Laba usahanya juga terus meningkat. Dibandingkan BUMN tempat saya bekerja, laba ASDP hampir 70 kali lipat.

Tapi Ira duduk di kelas ekonomi, baris belakang pula.

Meski saya kenal Ira sejak lama dan tahu tingginya integritasnya, saya tetap saja berdecak. Saya malu sendiri.

Lebih-lebih saat kami berjalan beriringan di terminal bandara, saling bertanya menginap di mana. Saya bilang menginap di lokasi acara, Hotel Inna Garuda. “Aku di Amaris,” kata Ira.

Saya kembali tercenung. Inna Garuda bintang 4. Saya memilih menginap di situ. Ira, di Amaris yang bintang 2.

Dan saya makin tercenung ketika ingat Dirut saya. Dirut BUMN saya, yang labanya 1/70 laba ASDP, menginap di Hotel Tentrem. Hari itu tarif Tentrem hampir lima kali lipat tarif Amaris.

“Acara kita kan seharian. Hotel mung gawe turu,” kata Ira dalam bahasa Jawa, yang artinya hotel hanya untuk tidur.

Saya terkesiap saat itu.

Meski ternyata itu bukan kali pertama saya tercenung.

Dan tentu saja bukan yang terakhir.

Karena beberapa kali bertemu Ira lagi, saya kembali terkesiap, tercenung, dan berdecak.

Seperti tahun 2023, saat ada teman menikahkan anaknya di Malang. Ira, saya, dan beberapa teman lain yang tinggal di luar Malang sama-sama diundang. “Nginep nang omahku wae. Kene ngumpul, crito-crito,” kata Ira. Menginap di rumahku saja. Berkumpul. Cerita-cerita.

Ira memang punya rumah di Malang. Dia selalu tidak harus ke hotel kalau sedang ke Malang, kota kelahirannya, tempat dia kuliah S1 di Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya (Fapet UB). Salah satu kota favoritnya.

“Meski kecil, senang bisa punya rumah di Malang,” katanya tentang rumah itu. Rumah tiga kamar yang cukup sederhana, yang ia beli sekitar tahun 2013 saat masih menjadi Direktur di GAP Inc., perusahaan ritel Amerika.

Termasuk pada Maret 2023 itu. Selain untuk menghadiri pernikahan, Ira menyelesaikan pekerjaannya di ASDP di Surabaya.

Tidak hanya saya yang diundang menginap di rumahnya, tetapi juga teman-teman sesama undangan. Ira hanya minta dibawakan pisang goreng dan mi godok.

Sampai di rumah Ira, saya sempat heran karena tidak ada mobil di depan rumahnya. Saya teringat teman-teman yang menjadi direksi BUMN, di mana pun selalu ada mobil dengan sopir menunggu.

“Mungkin sopirnya disuruh pulang. Menginap di tempat lain,” pikir saya.

Saya ingat rumah Ira hanya tiga kamar. Dua disiapkan untuk kami, para teman-temannya—saat itu kami berenam, tiga laki-laki dan tiga perempuan. Satu kamar lagi dipakai pasangan suami-istri yang menjaga rumah itu. Jadi mungkin sopirnya disuruh menginap di tempat lain.

Tetapi sampai pagi, menjelang berangkat ke acara nikahan, tidak ada mobil datang. Tidak Alphard, bahkan bukan Innova.

Yang datang malah Avanza milik teman yang tinggal di Malang, yang juga diundang ke nikahan itu. Ira pun santai ikut mobil Avanza itu. “Ayo berangkat…,” katanya.

Itu menyadarkan saya—lagi-lagi—untuk tercenung dan terkesiap. Saya membayangkan Dirut saya, yang mencetak laba hanya 1/70 dari ASDP, kalau bepergian ke luar kota pasti pilih-pilih harus naik mobil apa. Saya juga teringat beberapa direksi lain yang bahkan untuk urusan pribadi tetap memakai mobil kantor, dan tentu bukan Avanza.

Saat saya menceritakan kisah itu kepada anak-anak, saat mereka bersiap masuk dunia kerja, saya bilang: “Itulah integritas, Nduk.

Saya beruntung berteman dengan Ira sejak lama sekali. Kami satu kelas sejak kelas 1 di SMAN 1 Sidoarjo. Lalu sekelas lagi saat kuliah di Fapet UB.

Lulus kuliah, kami sempat lama tidak terhubung. Baru tersambung lagi saat saya sudah bekerja di Jawa Pos. Kebetulan suami Ira, Mas Zaim Uchrowi, juga orang media. Zaim pernah menjadi wartawan Tempo, Republika, dan sempat menjadi Komisaris Utama Kantor Berita ANTARA.

Sebagai teman sejak begitu lama, saya beruntung punya teman dengan integritas sejelas itu. Selain tentu unggul dan baik pribadinya.

Saat SMA, sejujurnya saya tidak merasa beruntung. Karena merasa mendapat saingan, lawan berat—termasuk dalam urusan organisasi sekolah.

Ira sejak SMA sudah tegas dan punya prinsip. Waktu itu, tahun 1984, ia maju ke kepala sekolah untuk meminta izin memakai jilbab. Saya, teman sekelasnya, bukannya mendukung malah menentangnya dengan prinsip sok pakai aturan: “Kalau mau pakai jilbab ya di sekolah….” (saya menyebut nama sekolah agama waktu itu).

Astaghfirullah. Saya masih jahiliyah saat itu. Ira mengaku saat itu sakit hati dengan saya. Kami sekelas, tapi tidak seiring.

Dan itu berlanjut saat pemilihan ketua OSIS. Saya saat itu ketua kelas. Saya terpilih bukan karena lebih baik dari Ira, tetapi lebih karena banyak teman laki-laki memilih saya.

Teman-teman laki-laki yang masih remaja dan naif banyak yang segan pada Ira. Dia tegas, cenderung galak, dan berani berdebat melawan laki-laki.

Saya juga beruntung teman-teman perempuan pun memilih saya. Kata Ira, karena saya tebar pesona… hahaha. Jadilah saya ketua kelas.

Tapi Ira tetap mendapat tempat: ia dipilih jadi wakil kelas saya untuk maju dalam pemilihan ketua OSIS.

Ira yang saat itu juga memimpin tim majalah sekolah punya peluang besar untuk menang, karena pemilih adalah para ketua kelas dari kelas 1 sampai 3.

Ira gagal mendapat suara terbanyak. Ia berada di urutan kedua dan menjadi wakil ketua OSIS. Dan tahukah penyebabnya? Salah satunya karena saya, yang saat itu naif, merasa Ira saingan, sehingga tidak memilih dia. Saya bahkan berkampanye melawannya. Maafkan ya, Ir…

Tapi Ira saat itu lebih dewasa dari saya. Hal itu tidak membuat kami bermusuhan. Kami sering berdebat, tapi tetap bersahabat.

Saat kelas 3, ketika tidak lagi berorganisasi, kami sering bareng lagi. Ia tidak segan ke rumah bersama teman-teman lain untuk belajar jelang ujian. Untuk pelajaran yang ia anggap saya lebih bisa—Bahasa Inggris—ia tidak segan belajar ke saya.

Dan itu berlanjut saat kuliah. Di Senat Mahasiswa kami berada dalam departemen yang sama. Di kepanitiaan, saat saya jadi ketua, ia membantu jadi seksi acara.

Saya pun beruntung menjadi saksi bahwa keunggulan Ira sejak SMA berlanjut sampai kuliah.

Lalu berlanjut lagi saat sama-sama bekerja. Saat itu Ira berkarier di GAP, sehingga lebih sering di luar negeri. Lama tidak kontak, kami nyambung kembali secara online saat Facebook hadir sekitar 2008. Saya yang saat itu sudah memakai FB tiba-tiba mendapat pesan di Messenger dari Ira.

Kami lalu mengobrol. Saya, agak sok, menulis pesan dalam bahasa Inggris. Ira menjawab: “Kuakui, waktu SMA kamu lebih jago bahasa Inggris. Tapi kalau sekarang… pakai boso Sidoarjo ae. Hahaha.”

Saya pun sadar diri. Ira masih aktif menggunakan bahasa Inggris di pekerjaannya. Saya saat itu memimpin koran Jawa Pos di Tulungagung, yang membuat saya lebih sering ber-inggah-inggih daripada oh no oh yes.

Namun kontak kami tentu bukan hanya soal bahasa. Ira mengingatkan untuk memikirkan teman-teman kami. Dimulai dari teman sekelas IPA 5 SMAN 1 Sidoarjo.

Ira menginisiasi reuni agar tahu kondisi teman-teman: siapa yang perlu dibantu, siapa yang sakit, atau bahkan siapa yang sudah tiada. Jadilah reuni pertama kelas IPA 5 setelah kami bekerja, pada 2008. Ira sponsornya.

Berlanjut ke reuni teman kuliah Fapet angkatan 1986 pada 2009. Meski sibuk di GAP, Ira terbang ke Tulungagung membawa sekarung celana, kemeja, sweater, dan produk GAP untuk dilelang demi dana alumni.

Berlanjut lagi ke reuni akbar SMA angkatan 1986. Ia hadir dalam rapat persiapan, ikut merancang, dan menyediakan dana awal yang besar untuk keperluan reuni.

Dengan langkah sistematis, ia merancang agar reuni berlanjut dengan aksi-aksi bermanfaat, bukan hanya bagi alumni, tetapi juga bagi SMA dan Kota Sidoarjo. Ira, direktur GAP yang langkahnya internasional, tidak segan turun tangan memikirkan kepentingan lokal.

Dan itu berlanjut terus… mulai dari rutin menambah kas alumni, mengunjungi teman atau guru sakit kalau pas di Indonesia, atau sekadar kumpul-kumpul.

Paling sering, Ira menyediakan rumahnya sebagai tempat berkumpul dengan alasan: “Aku bisa menyiapkan makanan sendiri untuk teman-teman,” katanya. Ia paling hobi menyuguhkan rawon khas Sidoarjo dengan kerupuk udang Siok.

Tahun 2011, istri saya kena stroke ringan. Saat itu saya tinggal di Semarang. Ira dan Mas Zaim menghubungi saya, menawarkan perawatan khusus untuk istri saya.

Ada ahli yang biasa menangani pasien stroke di Pasar Kemis, Tangerang. Perawatan butuh sekitar satu minggu. “Kalau Mas Pam sibuk, antar Mbak Wiwed ke Jakarta. Mas Pam temani sehari saja. Setelah itu kami yang urus,” kata Mas Zaim. Saya, Agung Pamujo, memang biasa dipanggil Pam.

Dan begitulah. Istri saya bukan hanya ditampung di rumah pasangan baik itu, tetapi juga disediakan sopir setiap hari untuk mengantar berobat.

“Yang dilakukan Mbak Ira membuat saya tahu apa arti seorang teman,” kata istri saya yang alhamdulillah membaik setelah sekitar sepuluh hari diurus Ira dan Mas Zaim.

“Ah, Pam… kamu tahu teman itu saudara. Saudara yang kita pilih,” kata Ira saat saya mengucapkan terima kasih.

Saya pun teringat betapa “jahatnya” saya pada dia saat SMA. Sementara Ira sebaliknya selalu memikirkan bagaimana memberi manfaat bagi teman-temannya.

Bukan hanya saya yang merasakan manfaat dari Ira. Seorang teman kuliah di Fapet UB yang harus bekerja di Hong Kong (atau Taiwan?) mengalami masa-masa sulit. Ira—yang saat itu masih di GAP—dalam satu agenda kerja sampai di kota teman itu bekerja. Ia menemui, mendengar masalahnya, membantu teman itu pulang, menampung sementara di rumahnya di Jakarta, bahkan mencarikan pekerjaan di Indonesia. “Saya tidak tahu jadinya bagaimana kalau tidak ditolong Ira,” kata teman itu.

Saya suka berbagi cerita Ira kepada anak-anak. “Itulah kebaikan,” kata saya. Anak-anak heran mengapa Tante Ira bukan hanya beberapa kali mengirimkan buku untuk mereka, tetapi juga sampai mau mengurus perawatan ibu mereka.

Sudah banyak tulisan tentang keunggulan Ira dalam membawa ASDP melesat maju. Sudah banyak pula kesaksian bahwa kasus yang terjadi ini aneh dan tidak seharusnya terjadi.

Salah satunya saya dengar sendiri saat menghadiri sidang putusan kasus ASDP di PN Jakarta Pusat pada Kamis (20/11), bersama teman-teman SMA, teman kuliah, dan kerabat Ira.

Hakim Sunoto SH, MH menegaskan bahwa apa yang dilakukan Ira dan dua direksi ASDP lain adalah aksi korporasi. Sebuah langkah bisnis yang bukan hanya dilindungi Business Judgement Rule, tetapi juga bermanfaat bagi ASDP.

Hakim Sunoto juga menilai tidak ada ketentuan hukum yang dilanggar, dan seharusnya Ira dan dua direksi ASDP diputus bebas. “Terdakwa telah beriktikad baik dan berhati-hati tanpa memiliki niat jahat (mens rea) untuk merugikan negara,” kata Hakim Sunoto.

Namun dua hakim lain berpendapat sebaliknya. Mereka mengakui tidak ada keuntungan yang diambil Ira dan rekan-rekannya, tetapi tetap menganggap mereka menguntungkan pihak lain dan merugikan negara.

Meski kedua hakim itu tahu dasar yang dipakai menyatakan kerugian negara tidak sesuai ketentuan. Meski mereka juga tahu—setidaknya mendengar pendapat Hakim Sunoto—aksi bisnis Ira justru membawa manfaat bagi ASDP dan masyarakat.

Bahkan aksi bisnis Ira telah melalui uji tuntas lengkap yang melibatkan tujuh lembaga kompeten: BPK, BPKP, kejaksaan, serta dua konsultan ternama PWC dan Deloitte.

Tetap saja mereka menyatakan Ira dan rekan bersalah. Yurisprudensi kasus serupa pun tidak menggoyahkan mereka. Karena dua pendapat menang melawan satu, putusannya menjadi bersalah.

Namun setelah menyaksikan sendiri integritas Ira, bagaimana saya bisa percaya ia mengambil yang bukan haknya? Setelah melihat sendiri bagaimana cermat dan rapinya ia merancang sesuatu, bagaimana saya bisa percaya ia melakukan tindakan yang melanggar aturan?

Saya tahu, Ira tegar dan tawakal. Ia siap menerima putusan yang diyakini memang sudah ketentuan-Nya. Demikian pula Mas Zaim dan keluarga. Saya dengar sendiri saat doa bersama beberapa hari sebelum sidang putusan.

Namun saya tetap merasa tidak tahu mengapa ini harus terjadi. Kepada Ira—yang integritasnya, kebaikannya, keunggulannya—selalu saya ceritakan kepada anak-anak saya.