Ketika Keadilan Menangis: Kasus Ira Puspadewi
Ira Puspadewi. (poto/ist)
Penulis: Dahlan Iskan
(Mantan Direktur Utama PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) Indonesia Ferry (Persero), Ira Puspadewi – Istimewa)
Satuju.com - Saya menitikkan air mata di Wamena ketika mendengar kabar bahwa Ira Puspadewi dijatuhi hukuman empat setengah tahun penjara. Ketua Majelis Hakim, Sunoto, sebenarnya berpendapat bahwa Ira tidak bersalah, namun ia kalah suara dari dua hakim anggotanya.
Sayalah yang meminta Ira pulang ke tanah air untuk mengabdi bagi bangsa. Ia sudah terlalu lama bekerja untuk perusahaan raksasa asal Amerika Serikat, GAP Inc., sebuah korporasi multinasional di bidang ritel pakaian.
Saat itu, saya membutuhkan seorang perempuan muda yang mampu membawa PT Sarinah melompat lebih maju.
Saya sudah lama berpikir bahwa seluruh jajaran direksi PT Sarinah harus diisi oleh perempuan. Saya melihat pasang naik kemampuan perempuan di dunia kerja dan manajerial, tetapi jumlah mereka di kursi direksi BUMN masih jauh dari proporsional.
Saya ingin ini menjadi “laboratorium” manajemen: benarkah perusahaan yang dipimpin seluruhnya oleh perempuan bisa bersaing dan bahkan melampaui perusahaan yang dipimpin laki-laki?
“Wanita dan anak muda adalah sumber kemajuan masa depan.” —Anda tentu masih ingat siapa yang mengatakannya.
Sarinah pun maju pesat. Setelah itu, saya tidak mengikuti lagi. Saya hanya mendengar Ira mendapat promosi ke perusahaan yang lebih besar dan lebih menantang: menjadi direktur Pos Indonesia.
Kemudian, ia diangkat menjadi Direktur Utama ASDP. “Kalau Anda berhasil di ASDP, berarti Anda lebih hebat dari laki-laki mana pun,” kata saya pada Ira dalam suatu kesempatan.
ASDP adalah dunia kapal ferry—keras, maskulin, dan penuh tantangan. Namun di tangan Ira, ASDP melesat. Praktik percaloan hilang, baik yang tampak maupun yang tak tampak. Laba ASDP melonjak drastis hingga mencapai Rp 3 triliun.
Sebagai profesional yang ditempa di perusahaan Amerika, Ira memahami strategi pertumbuhan cepat: tumbuh tinggi sekaligus melebar. Cara terbaik untuk tumbuh melebar adalah akuisisi.
Itulah yang ia lakukan. ASDP membeli perusahaan swasta pesaing di sektor yang sama: PT Jembatan Nusantara. Yang dibeli adalah perusahaannya, bukan sekadar kapal-kapalnya. Kapal itu bagian dari aset perusahaan; sudah termasuk di dalamnya.
Kesalahan pertama yang dituduhkan kepada Ira adalah: ia membeli kapal bekas. Ia dianggap bersalah. Padahal, ini menunjukkan kegagalan memahami konsep bisnis. Tidak bisa membedakan antara membeli perusahaan dan membeli kapal. Melihat kedunguan seperti itu, rasanya dada ini meledak.
Saya tidak akan melanjutkan terlalu jauh. Emosi saya terlalu besar. Meski begitu, saya masih menyimpan harapan: pengadilan tinggi akan membebaskan Ira. Sikap Ketua Majelis Hakim Sunoto yang menilai Ira tidak bersalah adalah modal penting untuk banding.
Bahwa ketua hakim kalah suara dari dua anggota, itulah pahitnya. Hakim cenderung takut membebaskan terdakwa ketika jaksa menuntut hukuman delapan tahun. Biasanya yang berani dilakukan hanya menjatuhkan hukuman lebih ringan.
Namun masih ada hakim-hakim hebat. Selain Sunoto, ada hakim yang mengadili mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong, dan hakim yang membebaskan Milawarman, Direktur Utama PT Bukit Asam.
Kasus Milawarman sangat mirip dengan Ira. Ia melakukan akuisisi perusahaan tambang, menghasilkan keuntungan besar, tetapi tetap dianggap salah dan dijadikan terdakwa. Hakim akhirnya membebaskannya.
Milawarman bebas, tetapi namanya sudah terlanjur rusak berbulan-bulan. Rusak seumur hidup. Dan hukum tidak mengatur bagaimana memulihkan nama seseorang yang dihancurkan oleh proses hukum.
Pun demikian dengan Ira. Namanya demikian dihancurkan. Bacalah tulisan Agung Pamujo di bawah ini. Agung kini menjadi Direktur Disway Malang.
Saya sendiri tidak sanggup menulis lebih panjang. Sisanya hanya akan berisi kemarahan. Saya pernah berada dalam posisi seperti Ira.

