Polemik Ijazah Jokowi dan Potret Negara yang Anti Kritik
Ilustrasi. (poto/net).
Oleh: SabarTambunan63
1. Ketimpangan Hukum: Rakyat Kecil Kena, Pejabat Aman
Satuju.com - Hukum di negeri ini sering kali terlihat paling galak kepada rakyat biasa. Orang kecil salah sedikit langsung diproses. Salah ketik nama bisa dilaporkan. Salah komentar bisa diborgol. Semua itu terjadi karena rakyat kecil tidak punya kekuasaan, tidak punya akses pembelaan, dan tidak punya ruang untuk melawan.
Sementara itu, pejabat publik justru seharusnya memiliki ruang kritik seluas-luasnya. Alasannya sederhana: mereka memegang kekuasaan, mengelola anggaran negara, dan seluruh aktivitas mereka dibiayai oleh pajak rakyat — bahkan pajak dari mie instan, baju murah, sampai kondom yang dibeli rakyat paling miskin sekalipun.
Karena itu, rakyat adalah Tuan mereka. Dan mereka seharusnya menjadi pelayan rakyat.
Dampak kebohongan atau ketidakjujuran pejabat publik jauh lebih besar dibanding kebohongan warga biasa. Mereka adalah public accountability figure — sosok yang wajib diawasi dan diuji kebenarannya.
Itulah sebabnya, apabila muncul keraguan, kejanggalan, atau indikasi ketidakbenaran dari seorang pejabat publik, negara wajib mengaudit sampai tuntas. Bukan malah sibuk membungkam pertanyaan.
2. Kasus Ijazah Jokowi: Ketika Pertanyaan Rakyat Dibalas Laporan
Di sinilah inti logika tentang polemik ijazah Jokowi. Faktanya hingga kini:
Rakyat yang bertanya dilaporkan, pejabat yang dipertanyakan justru dilindungi negara.
Jika negara bersikeras tidak mau membuka kebenaran, bahkan terlihat menghalangi, membungkam, atau menstigma mereka yang bertanya, maka:
- Yang tersisa bukan hanya misteri, tetapi juga efek domino kerusakan hukum.
- Ketika kebenaran di atas sengaja dibiarkan kabur, maka yang di bawah akan selalu menjadi korban.
- Hukum berubah menjadi alat kekuasaan, bukan alat keadilan.
Dan faktanya telah terlihat di lapangan:
- Rakyat biasa dilaporkan hanya karena bertanya.
- Akademisi ditekan hanya karena mengkaji.
- Aktivis dicap macam-macam hanya karena membongkar data.
Pejabat publik tetap diberi “perlindungan level dewa”.
Karena itu, logikanya memang sulit dibantah:
“Kalau kasus sepenting ijazah mantan Presiden Jokowi saja dibiarkan kabur, maka rakyat kecil akan selalu jadi mangsa — karena standar kejujuran tidak pernah diberlakukan ke atas.”
3. Negara Jahat kepada Rakyat
Ini bukan sekadar satir politik. Ini gejala negara yang sedang membuka pintu kehancurannya sendiri.
Jika hukum paling keras kepada rakyat biasa, jika pejabat publik memiliki ruang kritik seluas-luasnya, maka kasus yang menyangkut pejabat — apalagi yang terkait syarat konstitusional seperti ijazah harusnya menjadi yang:
- paling transparan,
- paling berani dibuka,
- paling berani diuji kebenarannya.
Karena jika level presiden saja kabur, maka konsekuensi ikutannya pasti:
1. Rakyat semakin mudah dijerat hukum, bahkan ketika hanya bertanya.
2. Pejabat semakin kebal kritik, cukup bersembunyi di balik pasal-pasal.
3. Kredibilitas institusi pendidikan ikut dipertanyakan.
4. Negara kehilangan moral authority dalam menindak pemalsuan, manipulasi administratif, dan kejahatan publik lainnya.
Maka jelas: “Tanpa dituntaskannya isu ijazah Jokowi, akan semakin banyak rakyat yang menjadi korban.”
Itulah wujud negara yang “jahat” kepada rakyatnya.
Dan penanggung jawab tertinggi ada pada Presiden dan para pemimpin partai. Mereka telah membiarkan pelanggaran terhadap konstitusi dan undang-undang.
Karena ketika kebenaran di level atas dibiarkan buram, yang pertama kali menjadi korban bukan pejabat tetapi rakyat jelata.

