Beda Data Mahfud MD & Menteri LHK, Pakar Lingkungan: Logika Inlander Menunggu Sedekah Tuan Takur Deforestasi
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya Bakar (kiri).Pakar Lingkungan Hidup Dr. Elviriadi (Tengah). cawapres nomor urut 3, Mahfud MD (kanan).
PEKANBARU, Satuju.com - Belum lama ini, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya Bakar, membantah data yang disampaikan cawapres nomor urut 3, Mahfud MD soal angka deforestasi di Indonesia mencapai 12,5 juta hektar dalam 10 tahun terakhir. Data itu sebelumnya disampaikan Mahfud dalam debat Pilpres keempat pada Minggu (21/1) malam. Dia menyebut angka deforestasi tersebut 23 kali luas Pulau Madura.
"Saya harus mengatakan bahwa data itu salah, saya bisa kasih tahu data yang sebenarnya," kata Siti Nurbaya seperti dikutip dari Detik.com, Senin (22/1).
Tak mau ketinggalan, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Marsekal (Purn) Hadi Tjahjanto, menegaskan program redistribusi tanah sudah berjalan sejak 1961. Penerbitan sertifikat redistribusi tanah diukur lebih banyak dilakukan pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo . Pernyataan itu merupakan tanggapan Hadi atas keterangan calon wakil presiden (cawapresnnomor urut 3 sekaligus Menko Polhukam, Mahfud MD. Saat debat, Mahfud menyebut, belum ada satu pun sertifikat untuk redistribusi tanah.
Menyanggapi perbedaan pendapat secara tajam para Menteri dengan Mahfud MD, Pakar Lingkungan Hidup Dr. Elviriadi sampaikan pandangan sederhana. Menyanggapi perbedaan pendapat secara tajam para Menteri dengan Mahfud MD, Pakar Lingkungan Hidup Dr. Elviriadi sampaikan pandangan pada media ini, Sabtu (27/1/2024).
"Beda pendapat itu biasalah dalam demokrasi. Saya apresiasi. Mungkin pak Mahfud melihat secara akumulatif luas deforestasi itu. Sedangkan Siti Nurbaya per tahun dan mungkin memasukkan reforestasi yang telah dilakukan pemerintah," terang alumni UKM Malaysia.
Namun, ilmuan yang sering menjadi ahli di pengadilan itu mengingatkan orientasi pembangunan yang sesuai UUD 45.
"Saya melihat ada kekhwatiran publik yang beralasan. Kemana arah pembangunan sumber daya alam kita. Seperti moratorium izin konsesi hutan primer dan gambut serta moratorium sawit, tidak sejalan dengan revisi UU Minerba dan UU Omnibus Law yang mempermudah penguasaan hutan. Juga batas minimum kawasan hutan yang menyebut 30% kini dihapus," jelasnya.
Tokoh Riau yang aktif di kajian SDA PP Muhammadiyah itu memandang kekhawatiran Mahfud cukup beralasan.
"Harusnya kan kebun sawit yang masuk ke dalam ekosistem gambut dan hutan itukan diambil alih negata. Dijadikan "benteng" hijau hutan tropis, menjaga kualitas tanah dari erosi, mencegah banjir serta ketahanan pangan berbasis agroforestri. Jadi gak perlu membuka (menggunduli) hutan seperti Food Estate yang kontroversi itu;" terangnya.
Dr.Elviriadi mengingatkan semua pihak menghindari logika inlander.
"Ingat, kita ini lama mengalami penjajahan. Kolonialisme Belanda dan Jepang bisa membentuk alam bawah sadar dan logika Inlander. Logika atau paradigma inlander ini mudah puas hanya dengan mengabdi pada tuan takur (tuan tanah / pemodal). Data, fakta dan martabat nomor dua. Yang penting jatah sedekah (kedermawanan) tuan takur deforestasi yang dinanti. Daulat Tuan Takur Agraria Deforestasi..!," pungkas peneliti gambut yang ikhlas gundul licin demi hutan tropis.

